ADVERTISEMENT

Ojo Waton Ngomong, Yen Ngomong Sing Gawe Maton

Kamis, 31 Maret 2022 07:26 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“DERAJAT moral seseorang akan tercermin dari lisan (ucapan) dan perbuatan (tindak tanduk) serta selarasnya ucapan dengan perbuatan. Satunya kata dengan perbuatan,” - Harmoko
 
Lisan itu ibarat pisau. Lisan (ucapan) bagaikan pedang, jika salah menggunakannya akan melukai banyak orang. Sering kali terjadi, karena ucapan seseorang menimbulkan kegaduhan. Kawan menjadi lawan. Karena lisan pula membuat sakit hati yang berujung dendam sebagai embrio permusuhan dan kekacauan.

Itulah sebabnya, siapa pun dia, utamanya para pejabat publik perlu menjaga ucapannya. Memberi pernyataan yang menyejukkan, bukan memanaskan situasi. Pernyataan yang memberi solusi, bukan memancing kontradiksi.

Belakangan ini rakyat sering kali disuguhkan pernyataan pejabat yang mengusik ketenangan publik seperti soal penundaan pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden. Ironi, di tengah rakyat masih terhimpit beban ekonomi akibat terdampak pandemi, pejabat publik yang tidak membidangi masalah politik, berbicara soal politik. 

Sementara masalah yang urgen, seperti adanya kenaikan harga sembako, tampak  terabaikan, persoalan minyak goreng, hingga kini belum terselesaikan. Belum lagi kelangkaan dan naiknya harga bahan bakar solar.

Saya dapat menduga soal penundaan pemilu dan memperpanjang jabatan presiden, bukan bentuk pengalihan perhatian publik, bukan pula “test the water” atau “proof- balloon” karena tidak tepat waktunya. Selain, akan menimbulkan kegaduhan, juga mendatangkan banyak penolakan seperti dapat kita saksikan.

Namun, jika pola itu pun dilakukan sah–sah saja dalam dunia politik yang sejak awal telah sering dipraktikkan. Kalaupun kemudian publik menolak, tinggal diklarifikasi,, “Itu hanyalah isu. Itu pendapat pribadi, bukan suara resmi institusi” atau "siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan karena ini kan demokrasi."

Meski demikian, diyakini publik semakin cerdas dapat menebak gelagat arah dan tujuan yang hendak dicapai dari manuver yang dilakukan. Ini dapat dilihat dari bagaimana sikap lembaga resmi. Yang perlu dicegah adalah jangan menimbulkan kesan adanya pembiaran polemik dan konflik di antara elite politik.

Apapun alasannya, konflik berkepanjangan cenderung bergerak liar, yang pada ujungnya rakyat pula yang menanggung beban. Memelihara konflik tidaklah produktif. Jelas – jelas tak selaras dengan nilai –nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila.

Tidak bisa dihindari konflik di kalangan elite akan berdampak pula kepada kegiatan di sektor ekonomi. Lebih – lebih jika kepentingan politik dijadikan punggawa di atas segalanya. Kita semua tentu berharap pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19 tidak terkendala konflik akibat beda pandangan politik. Tidak terabaikan karena perseteruan dan ambisi pencitraan. Tidak pula tersendatnya pemulihan lantas dijadikan rujukan untuk penundaan pemilu bagi pihak yang berkepentingan ingin mendapatkan perpanjangan jabatan secara gratis.

Mendekati bulan Ramadhan ini hendaknya dijadikan momen bagi para elite negeri agar lebih meningkatkan kesadaran diri untuk senantiasa merenung terhadap ucapan yang akan disampaikan dan dampak yang ditimbulkan. Jadikan momen untuk meningkatkan kualitas diri dengan menjaga lisan dan perbuatan. Ingat, derajat moral seseorang akan tercermin dari lisan, perbuatan dan selarasnya antara ucapan dengan perbuatan, kata Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT