“Perlu ada konsensus politik, kurangi barang impor, dengan meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. Di sisi lain, komoditas strategis hendaknya dijadikan politik negara, bukan politik pengusaha..”-Harmoko
Negara yang menguasai pangan akan menjadi kuat. Tanpa ketersediaan pangan yang melimpah, negara akan lemah, rakyat pun tambah susah. Sebut saja Amerika dan Jepang, kedua negara tersebut menjadi hebat dan kuat karena ketersediaan pangan lebih dari tercukupi. Bukan hanya ketersedian, juga penguasaan pangan di negerinya.
Bagaimana dengan negeri kita? Jawabnya penguasaan pangan masih lemah, padahal para leluhur kita, pemimpin negeri ini sejak zaman Kerajaan Majapahit, Mataram hingga era perjuangan menempatkan pangan sebagai primadona.
Kejayaan Kerajaan Majapahit ( yang menguasai hampir seluruh Nusantara), tak lepas dari penguasaan pangan di negerinya. Produk pertanian surplus, seperti beras hingga ekspor ke China dan India. Tak hanya beras, saat itu garam, dan rempah – rempah hingga kain sutra sudah menjadi komoditas ekspor.
Patut diingat, Kerajaan Majapahit mengalami kejayaan karena penguasaan komoditas pangan dan perdagangan. Kerajaan Majapahit runtuh karena tidak mampu menguasai pangan, musim paceklik hingga rakyat kelaparan.
Yang hendak saya katakan adalah penguasaan pangan, ditangani langsung oleh kerajaan (negara). Urusan pangan menjadi politik kerajaan, bukan politik partial atau segmental.
Dulu dan sekarang memang beda keadaan, tetapi soal pangan tetap menjadi penentu hidup matinya suatu bangsa, di negara manapun, di era kapanpun. Pangan sebagai komoditas strategis harus dikuasai negara, bukan swasta, apalagi asing. Acuannya sudah jelas, UUD 1945, pasal 33.
Penguasaan komoditas strategis seperti beras, jagung, gula, kelapa sawit oleh swasta, dapat memperburuk ketahanan pangan nasional. Kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng, bisa menjadi acuan komoditas strategis tidak dikuasai negara, sehingga acap menjadi “permainan” mafia.
Yang terjadi, beras kurang akhirnya impor. Kedelai kurang, impor, garam kurang juga impor. Kebiasaan impor bukan hanya soal pangan. Pengadaan barang dan jasa perkantoran instansi dan lembaga pemerintah pun ikut – ikutan impor. Semuanya serba impor.
Tak heran jika Presiden Joko Widodo sampai marah - marah kepada menteri, kepala lembaga, kepala daerh serta petinggi BUMN yang masih terus impor. Data menyebutkan realisasi pengadaan barang dan jasa produk dalam negeri hanya Rp214 triliun setara dengan 14 persen dari total anggaran sebesar Rp1.481 triliun. Artinya sebagian besar uang rakyat digunakan untuk belanja barang impor.
DPR sebagai wakil rakyat hendaknya segera bertindak mencegahnya melalui pengawasan sistem penganggaran dengan mengarahkan belanja produk lokal guna memajukan perekonomian nasional.
DPR hendaknya kuat dan kompak agar rakyat tidak lagi menjadi korban kelangkaan dan mahalnya harga pangan. Petani terpinggirkan karena membanjirnya pangan impor.
Sistem perekonomian rakyat tersendat karena kurangnya dukungan pemerintah yang lebih menyukai belanja barang impor, ketimbang produk lokal.