JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Presiden Jokowi membatalkan penghapusan penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 117 Tahun 2021.
Perpres tersebut merupakan perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual BBM Eceran yang disahkan pada 31 Desember 2021.
Namun, Perpres No. 117/2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran BBM tertanggal 31 Desember 2021, menurut anggota Komisi VII DPR Mulyanto hanya lip service atau pemanis ucapan.
Meskipun sepintas lalu Perpres itu terkesan Pemerintah peduli pada rakyat karena mewajibkan premium sebagai jenis BBM khusus penugasan dengan wilayah penugasan meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tapi dalam perpres tersebut tidak disebutkan berapa besaran kuotanya.
"Perpres ini telah menganulir pernyataan Menteri ESDM yang berencana menghapus premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) tahun 2022," tutur Mulyanto dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (4/1/2021).
Dengan kebijakan ini, lanjut dia, maka artinya premium tetap ada sebagai BBM Khusus Penugasan dan didistribusikan secara nasional dari Sabang sampai Merauke.
Ia menilai terkesan Pemerintah mendengar aspirasi masyarakat, yang menginginkan BBM dengan harga yang terjangkau daya beli mereka di saat pandemi Covid-19 belum usai. Apalagi, Pemerintah juga telah menetapkan untuk memperpanjang masa pandemi Covid-19.
"Namun demikian ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian kita bersama, yakni dalam Perpres tersebut jumlah kuota premium akan dibatasi sebanyak 50 persen dari penjualan Pertalite. Berapa angka persisnya, tidak jelas," kata Mulyanto.
Mulyanto menegaskan bahwa pada tahun-tahun sebelumnya angka kuota ini ditetapkan dengan jelas. Misalnya kuota tahun 2019, 2020 dan 2021 masing-masing sebesar 11 juta kilo liter (kl), 11 juta kl, dan 10 juta kl. Sementara penyerapannya masing-masing sebesar 11.6 juta kl, 8.7 juta kl, dan 3,4 juta kl.
"Tentu kita paham, penyerapan Premium yang rendah ini bukan karena animo masyarakat yang rendah, namun lebih karena Pertamina menahan-nahan distribusinya, sehingga Premium menjadi langka di pasaran. Berbagai keluhan masyarakat terkait kelangkaan BBM Khusus Penugasan ini di berbagai tempat membuktikan hal tersebut.
"Jadi sebenarnya Perpres No. 117/2021, yang tidak menghapus Premium ini sebenarnya “sama juga bohong” alias tidak punya makna di lapangan," papar Mulyanto.
Ia menambahkan karena dengan kebijakan premium yang tanpa penetapan kuota yang jelas, maka dapat diduga pendistribusiannya tidak akan bertambah baik, malah akan semakin kacau.
"Bisa dibayangkan, dengan jumlah kuota premium yang jelas saja, pada tahun-tahun sebelumnya sebesar 10 sampai 11 juta kl, tetap terjadi kelangkaan premium, apalagi dengan kebijakan premium tanpa kuota," tuturnya.
Mulyanto menjelaskan kalau pemerintah serius meringankan beban rakyat, maka tetapkan kuota premium dengan jelas, awasi ketat pendistribusiannya, dan beri sanksi tegas pada BUMN penerima penugasan yang lemah dalam menjalankan tugas, serta bayar kompensasi penugasan Premium tepat waktu.
Dalam perpres pasal 3 Perpres No. 117/2021 berbunyi: (2) Jenis BBM Khusus Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b merupakan BBM jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88 untuk didistribusikan di wilayah penugasan.
Sementara Pasal 21B ayat (1) diatur ketentuan: “Dalam rangka mendukung energi bersih dan ramah lingkungan, jenis Bensin (Gasoline) RON 88 yang merupakan 50 persen dari volume jenis Bensin (Gasoline) RON 90 yang disediakan dan didistribusikan oleh Badan Usaha penerima penugasan. (*)