Menjadi bahan renungan, adakah yang salah, jika beragam pencitraan telah dilakukan secara masif, popularitas pun sudah menembus batas, tetapi elektabilitas tetap terhempas.
Pencitraan memang bebas dilakukan dengan cara apa saja, di mana saja, kapan saja dan dalam situasi apa saja, termasuk pada lingkungan masyarakat yang sedang membutuhkan perhatian karena terkena musibah. Meski begitu hendaknya tidak melampaui batas kewajaran, dengan tetap menjunjung tinggi etika dan moral seperti sering dipesankan Pak Harmoko dalam ulasannya pada kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Pencitraan hendaknya dilakukan secara transparan, proporsional, apa adanya, apa yang dicitrakan sesuai dengan kenyataan. Tidak juga bias, tidak melebih –lebihkan untuk menutupi kekurangan, apalagi sampai memanipulasi diri sendiri.
Ingat! Pencitraan yang dikemas dengan kepalsuan, lebih–lebih di luar batas kewajaran yang diwarnai sikap arogan, yang tak sesuai etika budaya kita, akan melahirkan popularitas semu. Boleh jadi bukan simpati yang didapat, tetapi antipati.
Memoles citra diri untuk menarik simpati publik menyongsong pilpres, memang penting. Tetapi, lebih penting lagi melakukan aksi nyata di tengah masyarakat yang sedang terhimpit kebutuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Hidup itu bukan sebatas memoles citra diri, peduli terhadap diri sendiri, juga peduli terhadap lingkungan sekitar sebagaimana amanah falsafah bangsa kita, Pancasila, yang tercermin melalui sikap bergotong royong, saling tolong menolong.
Hendaknya “Urip iku urup”. Pitutur luhur yang diajarkan Sunan Kalijaga memiliki makna : Urip = hidup, urup = menyala, artinya hidup itu harus dapat menerangi alam sekitar. Hidup akan lebih berarti, jika tak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi memberi nilai tambah, mampu memberi banyak manfaat kepada orang lain, lingkungan sekitar. (Azisoko*)