Kopi Pagi

Toleransi Beragama

Kamis 23 Des 2021, 07:00 WIB

“Hendaknya tidak mempermasalahkan sebuah perbedaan, melainkan saling melengkapi kekurangan. Itulah toleransi.." - Harmoko

PERBEDAAN tafsir, beda pendapat, beda pandangan adalah keniscayaan. Perbedaan adalah fakta yang tidak bisa ditolak keberadaannya  di tengah keberagaman yang telah terjelma sejak dulu kala pada negeri kita.

Keberagaman Indonesia karena kondisi geografis terpantul dari 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke- dari Pulau Benggala hingga Liki. Keberagaman etnis terpancar dari 1.340 suku, ditambah penggunaan 2.500 bahasa daerah yang tersebar  di bumi nusantara.

Terdapat 6 agama yang diakui secara resmi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Belum lagi banyaknya kepercayaan dan keberagaman kepentingan sosial lainnya. Negara kita juga memiliki sedikitnya puluhan ribu adat budaya bangsa. Setidaknya baru 7.241 karya budaya yang tercatat dan ditetapkan sebagai warisan budaya  tak benda Indonesia.

Semuanya itu patut disyukuri karena keberagaman adalah kekayaan bangsa kita, yang di dalamnya mengakui adanya perbedaan dalam berbagai bidang kehidupan. Malah, dengan adanya perbedaan bisa saling melengkapi satu sama lain. Bisa saling mengisi kekurangan satu sama lain. Ini akan lebih indah, ketimbang sebatas mengerti dan memahami.

Ibarat pelangi semakin banyak perbedaan terlihat semakin indah. Karena perbedaan membuat hidup lebih berwarna.

Keberagaman adalah anugerah yang membawa berkah, jika mampu merawatnya, mengemasnya dan melestarikannya serta menyatukannya dalam bingkai NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika- berbeda - beda , tetapi tetap satu. Bersatu dalam perbedaan.

Menjadi aneh, jika masih ada yang terus mengungkit dan mencari - cari perbedaan. Mempertentangkannya yang berujung kepada munculnya gesekan sebagai embrio perpecahan.

Disinilah perlunya kesadaran diri untuk saling menghargai perbedaan dengan mengedepankan sikap toleransi seperti sering dipesankan pak Harmoko lewat ulasannya dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Hidup bukan tentang mempermasalahkan sebuah perbedaan, melainkan saling melengkapi kekurangan, itulah ajaran adiluhung yang hendaknya dipraktikkan dalam kehidupan sehari – hari.

Telah teruji kian kokohnya NKRI tak lepas dari sikap toleransi yang telah menjadi jati diri bangsa Indonesia sejak era perjuangan  hingga kini.

Toleransi disadari oleh para pejuang bangsa sebagai tali perekat persatuan di tengah keberagaman dengan mengesampingkan ego kelompok, kedaerahan, keagamaan dan kesukuan.

Founding fathers, Bung Karno memberi contoh nyata dengan membuka begitu luas ruang toleransi ketika bersidang pada 1 Juni 1945 untuk merumuskan dasar negara sebagai syarat Indonesia merdeka. Tak sebatas menghargai perbedaan pendapat, tetapi menekan kehendak diri dengan mengakomodir kehendak orang lain demi kepentingan umum – kepentingan yang lebih luas.

Maknanya, toleransi ikut mewarnai kelahiran Pancasila sebagai falsafah bangsa yang kemudian dijabarkan dalam nilai – nilai luhur seperti mengembangkan sikap tenggang rasa, saling menghormati, tolong menolong, dan tidak semena – mena.

Dalam konteks toleransi beragama di antaranya tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Mengamalkan ajaran agamanya secara berkeadaban, saling menghormati satu sama lain. Toleran terhadap pelaksanaan ibadah yang dianut pemeluk agama lain.

Marilah kita “nitilaku” dengan lebih menjaga dan mengamalkan nilai – nilai toleransi (value of tolerance) seperti yang telah dicontohkan para pejuang dan pendiri negeri. Perlu kiranya mengubah “culture of reaction” – budaya reaksioner menjadi “culture of prevention “ – budaya pencegahan.

Ini sejalan dengan pitutur luhur  perlunya mengembangkan sikap “tepa salira” –  menjaga dan merasakan perasaan orang lain untuk mencegah ketersinggungan. Tak kalah pentingnya penyesuaian diri dengan lingkungan sosial, di mana kita berada sebagaimana pitutur “ Manjing, ajur, ajer” yang artinya harus bisa masuk ke dalam pergaulan, ke segala komunitas atau lingkungan sosial manapun. Kemudian melebur dan mencair, menyatu dengan lingkungan serta beradaptasi dan akrab dengan orang – orang disekitarnya.

Jika sudah demikian, ayem tentrem dan damai, bukan hal yang sulit didapat. (Azisoko*)

Tags:
toleransi beragamaKopi Pagi Hari IniKopi Pagi PoskotaToleransi Beragama di IndonesiaIsu Toleransi Beragama Jelang Natal

Administrator

Reporter

Administrator

Editor