“BERI saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan 1 untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi.”
Ini janji yang diucapkan Zhu Rongji ketika dilantik menjadi Perdana Menteri China, tahun 1998.
Kata yang terucap diterapkan, pemberantasan korupsi di negaranya cukup berhasil. Hukuman mati memberi efek jera, meski diakui korupsi masih tetap ada, tidak sepenuhnya sirna, tetapi upaya memberantas korupsi di negeri tirai bambu ini, patut diacungi jempol.
Yah, komitmen memberantas korupsi harus tumbuh dalam setiap sanubari anak negeri. Utamanya mereka yang berdiri paling depan mengawal negeri ini mewujudkan cita- citanya, menciptakan masyarakat adil makmur, kesejahteraan dan keadilan sosial.
Di negara kita, penerapan hukuman mati kepada koruptor masih diwarnai kontroversi, tanpa realisasi.Tekad sudah ada, tetapi terhenti di tataran wacana, tanpa aksi nyata.
Sementara korupsi kian menggurita bukan sebatas wacana, tetapi fakta yang semakin nyata karena didukung data peristiwa.
Sejumlah sanksi yang telah diberikan, mulai hukuman berat, memiskinkan koruptor dengan merampas asetnya hingga gugatan perdata bagi pelaku yang meninggal dunia, tetapi belum memberikan efek jera.
Karenanya Jaksa Agung, ST Burhanuddin kembali mendorong makin perlunya hukuman mati kepada koruptor untuk memberi efek jera.
Dia menilai saat ini kasus korupsi di Indonesia semakin merajalela. Semakin menggurita, akut, sistemik serta menjadi pandemi hukum yang ada di setiap lapisan masyarakat.
Pendapat Jaksa Agung ini disampaikan dalam webminar yang disiarkan secara virtual melalui YouTube Official Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Kamis (25/11/2021).
Sanksi pidana mati sebagai salah satu upaya represif dan preventif dalam kasus korupsi. Ia menilai sanksi pidana dapat berperan sebagai alat memutus jalur-jalur korupsi, pemulihan, pemberian efek jera, dan sekaligus sebagai pendidikan agar kejahatan tidak diulang atau ditiru.
Upaya ini dapat berjalan sebagaimana diharapkan, jika segenap elemen bangsa memiliki komitmen yang sama dalam memberantas korupsi. Tidak memberikan tempat sejengkal pun kepada pelaku korupsi.Tidak membuka sekecil apapun celah terjadinya korupsi.
Ini berarti tak ada kata toleransi dan kompromi terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Maknanya tidak mentolerir perilaku korupsi, apapun alasannya. Tidak kompromi dalam penyidikan, penuntutan hingga persidangan, apapun pembelaannya.
Jika nyata-nyata telah korupsi, adakah yang mesti dikompromikan? Di sinilah perlunya transparansi, kejujuran dan keadilan dalam menangani tindak pidana korupsi.
Ini wajib direalisasikan melalui aksi nyata, bukan sebatas retorika belaka.
Jika penegakan hukum masih bolong-bolong akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat, di sisi lain akan muncul anggapan bahwa hukum masih dapat “dimainkan”.
Anggapan ini akan berdampak kepada berkurangnya efek jera dengan mengkalkulasi dana yang dikorupsi sekian, biaya yang dikeluarkam sekian, berarti masih tersisa sekian sebagai bekal setelah bebas dari penjara.
Jika korupsi sudah dianggap bagian dari bisnis, repot jadinya. Berapa pun ancaman hukuman, tidak membuatnya jera. Kecuali tadi, segera dieksekusi dengan hukuman mati, sehinga tak ada waktu lagi untuk menikmati hasil korupsi.
Kecuali korupsi sudah menjadi hobi yang melekat pada diri seseorang.
Lihat juga video “Penculikan Gadis Cantik Oleh Sopir Taksi Online hingga Alami Penyekapan”. (youtube/poskota tv)
Adakah seseorang yang punya hobi korupsi? Jawabnya semoga tak ada satu pun yang punya hobi korupsi. Masa sih punya hobi korupsi. Lagi pula, perilaku korup bukanlah jati diri bangsa kita.
Kalau hobi mancing? Bolehlah, asal “jangan mancing di air keruh.” (jokles)