“Pemimpin yang baik lahir dari “rahim” rakyat. Merangkak dari bawah, tumbuh dan besar bersama rakyat. Bukan ujug – ujug” – Harmoko
DUA tahun lalu, pernah mencuat wacana untuk mengevaluasi pilkada langsung. Alasannya, pilkada langsung menciptakan mahalnya biaya politik sebagai modal yang harus dikeluarkan calon peserta dan partai pengusung. Belum lagi terbukanya potensi konflik di tengah masyarakat selama pesta demokrasi lima tahunan ini.
Mengenai mahalnya biaya politik, sudah disinggung dalam tulisan sebelumnya, di antaranya berimbas kepada lahirnya kebijakan transaksional seperti jual beli kursi jabatan birokrasi hingga ke level bawah. Yang lebih ironi, kekuasaan kepala daerah telah tergadaikan kepada pihak ketiga yang membiayai pemilihan.
Sebagaimana hasil penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 82,6 persen calon kepala daerah pada pilkada serentak tahun 2017, dibiayai pihak ketiga (sponsor). Pada pilkada tahun 2018, sebanyak 70,3 persen calon kepala daerah yang dibiayai pihak ketiga.
Biaya yang cukup besar, juga dikeluarkan oleh daerah. Data Kemenkeu menyebutkan pada pilkada serentak 9 Desember 2020, menyerap anggaran sebesar Rp20,46 triliun.
Dengan rincian, sebesar Rp5,23 triliun berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penyiapan protokol kesehatan selama pilkada terkait dengan situasi pandemi.
Sedangkan Rp 15,23 triliun ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memilih 270 kepala daerah. Artinya setiap daerah rata-rata menggelontorkan anggaran sekitar Rp56 miliar untuk memilih kepala daerah yang amanah.
Menjadi bahan renungan, apakah kepala daerah akan amanah, jika kekuasaannya telah tergadaikan. Akankah kebijakan sepenuhnya memihak rakyat, jika masih diwarnai pesan sponsor?
Inilah yang perlu dievaluasi dari pilkada langsung, jika hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Yang pertama, sistem rekrutmen kader parpol sebagai calon kepala daerah yang berkualitas. Bukan saatnya lagi parpol tergiur kader ujug-ujug yang merasa mampu segalanya karena berhambur fasilitas, membawa banyak tas, tetapi minim kualitas dan loyalitas.
Hendaknya calon pemimpin bersikap “ojo rumongso biso, ning biso rumongso” – Jangan pernah merasa bisa (dirinya hebat), tetapi hendaknya bisa merasa, tahu diri atas keterbatasan yang dimiliki.
Seperti sering dipesankan pak Harmoko dalam berbagai kesempatan, bidang organisasi kader dan keanggotaan perlu dikedepankan. Kaderisasi hingga di level terbawah menjadi penting untuk membangun loyalitas, integritas dan moralitas.
Ada filosofi seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang lahir dari “rahim” rakyat, tumbuh dan berkembang bersama rakyat. Mereka inilah yang mengetahui denyut nadi rakyat, tahu persis derita rakyat, kebutuhan rakyat, lebih tahu solusi jitu mengangkat harkat dan martabat rakyat.
Jika mereka kader parpol yang merangkak dari bawah, dari akar rumput, sehari-hari bergaul bersama rakyat, mereka ikut membantu menyelesaikan problema rakyat.
Karena lahir dan besar bersama rakyat, maka sudah dikenal cukup baik oleh rakyat. Sudah teruji. Jika maju sebagai sebagai calon kepala daerah tidak perlu lagi biaya tinggi karena telah meraih simpati. Bahkan, rakyat akan sukarela mengawal pilkada jurdil dari TPS hingga hasil akhir.
Yang kedua, mengevaluasi secara total pilkada langsung dengan mengembalikan mekanisme pemilihan kepada lembaga legislatif, untuk pilkada kabupaten/kota.
Sementara pemilihan gubernur tetap dilakukan secara langsung, tentu dengan beberapa perbaikan, di antaranya memperketat rekrutmen para calon baik yang dilakukan parpol pengusung maupun KPUD.
Wacana pilkada kabupaten/kota melalui DPRD, boleh jadi akan menuai kontroversi karena dinilai sebuah kemunduran demokrasi. Ini dapat dipahami karena hak suara yang sebelumnya diberikan langsung, akan diamanatkan kepada wakilnya di DPRD.
Tetapi demokrasi juga perlu melihat proses dan hasilnya. Jika proses pemilihan diwarnai jual beli suara, adanya tekanan politik uang dan kekuasaan, dan yang sering terjadi menimbulkan disintegrasi di tengah masyarakat, apakah bisa disebut demokratis dan sesuai dengan asas Pancasila? Begitupun jika hasil pilkada tidak banyak membawa perubahan dan kebaikan, apakah sebuah kemajuan.
Lihat juga video "Tilap Uang Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kepala Desa di Lebak Ditangkap". (youtube/poskota tv)
Pilkada melalui DPRD memang belum menjamin sepenuhnya hilangnya politik transaksi, tetapi setidaknya menekan mahalnya biaya politik yang berarti memperkecil perilaku korupsi. Di samping mengurangi potensi konflik di tengah masyarakat.
Ini menjadi renungan bersama, termasuk mengevaluasi pileg langsung, yang tak acap memunculkan kader "karbitan" dan "kacangan". ( Azisoko *)