ADVERTISEMENT
Rabu, 13 Oktober 2021 07:54 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil merasa heran dengan siap Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengapa begitu saja menerima usulan pemerintah yang menetapkan Pemilu 2024 digelar pada 15 Mei 2024.
"Usulan pemerintah Pemilu tanggal 15 Mei 2024 sifatnya adalah rekomendasi saja. Sebab, yang mempunyai otoritas menentukan tahapan Pemilu ya KPU. Menurut saya Pemerintah tidak bisa memaksanakan kehednak juga," katanya saat dihubungi, Selasa (12/10/2021).
Seharusnya, lanjut Fadli, KPU percaya diri dengan kewenangannya. "Ini aneh juga, KPU terlihat tidak punya sikap terkait dengan usulan jadwal-jadwal Pemilu ini," ucapnya.
Fadli mengatakan, ada sekitar 217 daerah dan beberapa diantaranya provinsi yang masa jabatannya habis sepanjang tahun 2022. Diantaranya, DKI Jakarta, Banten, Aceh, Bangka Belitung dan beberapa provinsi lainnya dan kabupaten kotanya lebih banyak.
"Soal penentuan jadwal pemungutan suara Pemilu, ada beberapa diskursus, ada beberapa versi yang kemudian sekarang sampai sekarang masih belum diputuskan. Pilihan-pilihan itu membawa implikasi kepada beban tugas penyelenggaraan pemilu nantinya. Pilihan awal soal menyelenggarakan pemilu di bulan Februari 2021, kemudian bergeser ke bulan Mei 2024 ya, awalnya Februari 2024, kemudian bergeser ke 15 Mei 2024, usulan pemerintah," katanya.
Fadli mengatakan tidak masuk akal jika hari pemungutan suara dilaksanakan 15 Mei 2024 dan pilkada tetap dilaksanakan di bulan November 2024.
"Dimana tidak masuk akalnya, ketika hari pemungutan suara itu dilakasankan di 15 Mei 2024, artinya di bulan Mei itu pula tahapan-tahapan awal penyelenggaraan pilkada 2024 akan dimulai," katanya.
Fadli mengusulkan, Kalau memang pemungutan suara pemilu dilaksanakan pada 15 Mei 2024. Idealnya Pilkadanya memang tidak November 2024, ditunda ke 2025. "Tapi, kalau Pilkada ditunda sampai 2025 makan akan terlalu lama lagi penjabat Plt-nya," ucapnya.
Menurut Fadli, sebaiknya dilakukan lagi satu kali transisi ya, sesuai dengan jabatan kepala daerah yang habis yang sedang menjabat saat ini.
"Misalnya untuk daerah yang habis di masa jabatan kepala daerah di 2022 dan 2023 bisa digabung pelaksanaan Pilkada nya di pertengahan 2023 misalnya. Jadi ada satu kali masa transisi lagi penyelenggaraan Pilkada, sebelum nanti penyelenggaraan Pilkada secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga ini membuat beban kerja penyelenggara pemilu juga bisa lebih rasional,"
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT