Bung Harmoko, karikatur.

Kopi Pagi

Berburu Jabatan

Kamis 22 Apr 2021, 07:00 WIB

Oleh: Harmoko

“Serahkan kepada ahlinya.” Kalimat ini sepintas sederhana, tetapi sejatinya sebuah tuntunan, jika ingin memberikan amanah ( jabatan atau pun kekuasaan) kepada seseorang. Lebih – lebih menyangkut urusan publik hendaknya ditunaikan oleh ahlinya agar mampu mempertanggungjawabkannya.

Fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) sebuah mekanisme untuk menelusuri rekam jejak seseorang terkait kemampuan dan keahliannya guna menduduki jabatan publik.

Keahlian tak sebatas masalah teknis, juga non teknis. Setidaknya memiliki kompetensi, kapabilitas, akseptabilitas dan elektabilitas. Dan, tak kalah pentingnya adalah loyalitas.

Belakangan, untuk menjaring sebanyak mungkin calon pejabat ditempuh  melalui mekanisme “lelang jabatan”.

Siapa saja boleh ikut uji kompetensi, sepanjang memenuhi persyaratan dan ketentuan. Yang tidak dibolehkan adalah meminta jabatan secara paksa, lewat kolega dan main sogok segala.

Itulah sebabnya para leluhur mengajarkan kepada kita semua untuk tidak meminta – minta jabatan  apa pun  levelnya. Agama apa pun, Islam misalnya melarang pemeluknya untuk meminta jabatan dan kekuasaan. Apalagi harus dikejar dengan penuh hasrat ambisi melalui jalur transaksi.

Jabatan adalah amanah, karenanya siapa pun yang menerimanya wajib menjalankan dengan penuh penghormatan dan tangggung jawab moral yang tinggi. Berupaya secara maksimal tidak tergoda oleh hasutan, ajakan penyalahgunaan dan penyelewengan. Tidak tergiur upeti, komisi, dan gratifikasi untuk memperkaya diri sendiri.

Jika jabatan dicari – cari, apalagi diperoleh melalui transaksi maka dapat dipastikan akan mendatangkan penyelewengan dan penyimpangan sehingga menimbulkan banyak masalah, akhirnya jauh dari amanah.

Memang, jabatan senantiasa menjadi daya tarik sepanjang masa. Tak jarang meninggalkan tragedi karena adanya ambisi menguasai jabatan dengan  cara – cara yang tidak benar, tak sesuai etika dan norma.

Sejarah mencatat ambisi jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara akan berujung petaka. Kisah Raja Fir’aun dan Adolf Hitler, di antara catatan sejarah yang patut menjadi renungan kita bersama untuk tidak terjebak pada ambisi berburu jabatan tiada henti.

Baca Juga:

Jabatan tak perlu dicari – cari. Sebab, semakin dicari akan semakin besar kehendak yang diingini. Lazimnya orang mencari, sudah dapat yang kecil, ingin yang lebih besar lagi, begitu seterusnya.

Sudah jadi bupati, ingin gubernur. Sudah gubernur ingin menteri. Untuk melanggengkan kekuasaan dengan menampilkan istri, anak, mantu dan keponakan.

Berburu jabatan dan kekuasaan sah – sah saja, tanpa ada larangan. Yang tidak dibenarkan jika dilakukan dengan kecurangan, menabrak aturan serta memaksakan kehendak dengan menghalalkan segala cara. Cara seperti ini tak sesuai alam demokrasi kita, tak selaras dengan falsafat hidup bangsa kita, Pancasila.

Para elite negeri ini hendaknya memberi keteladanan. Tak perlu ngotot berburu jabatan dan kekuasaan karena diyakini keduanya akan datang sendiri selagi memenuhi kualifikasi, apalagi menyimpan banyak potensi.

Kalau pun harus berkompetisi bukan dengan saling menjatuhkan, tetapi lebih kepada mengembangkan kreasi dan inovasi untuk meningkatkan kualitas diri. Tak hanya skill dan keahlian, juga kian menguatkan jati dirinya sebagai anak negeri yang profesional dengan tetap menjunjung tinggi integritas moral.

Sejalan dengan pesan moral ” Maju tanpa menyingkirkan, naik tinggi tanpa menjatuhkan. Menjadi baik, tanpa menjelekkan. Benar, tanpa menyalahkan orang lain” (*)

Tags:
Kopi PagiharmokoBerburu Jabatan

Administrator

Reporter

Guruh Nara Persada

Editor