Oleh Harmoko
“OJO waton ngomong”. Filosofi berbahasa Jawa ini cukup sederhana, tetapi sarat dengan makna jika hendak mencermatinya. Mengandung ajaran etik dan moral bagaimana membangun komunikasi yang baik, serasi dan selaras dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih luas lagi, berbangsa dan bernegara.
Setiap warga negara berhak berbicara, menyatakan pendapat karena memang dilindungi oleh undang-undang sebagaimana diamanatkan melalui pasal 28E(3) UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Lebih rinci lagi pada ayat berikutnya diatur mengenai hak untuk berkomunikasi, berhak memperoleh dan mencari informasi, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Meski terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan informasi sebagaimana hak yang melekat pada dirinya, tetapi tidak lantas bebas tanpa kendali. Terdapat batasan-batasan dalam berkomunikasi, ada aturan main, belum lagi etika dan norma sosial yang tumbuh dan hidup sejak dulu kala sebagai adat dan budaya kita yang kemudian dilegalkan melalui falsafah bangsa kita, Pancasila.
“Ojo waton ngomong” yang berarti “Jangan asal bicara” hendaknya kian diaktualisasikan, di era digital seperti sekarang ini.
Fakta tak dapat dipungkiri, kini setiap orang semakin mudah mengakses informasi dari mana pun datangnya, tak hanya segala penjuru negeri kita, juga dunia. Dampaknya, kian mudah menyampaikan pendapat kepada publik, kapan saja dan di mana saja, juga kepada siapa saja.
Terdapat kecenderungan, pendapat atau pun komen yang terlontar, utamanya di media sosial kadang jauh dari etika dan tata krama, kalau tak mau disebut kurang beradab. Belum, lagi, kadang jauh dari fakta karena tanpa kroscek.
Ini acap terjadi di dunia maya, tetapi hendaknya tidaklah demikian di alam nyata, ketika bertetangga, bersosialisasi dengan lingkungan.
Kini, kian dituntut kearifan para pengamat, wakil rakyat dan pejabat ketika menyampaikan pendapat kepada publik jangan “waton ngomong.”
Kita meyakini, sebagai figur publik akan meneladani, dalam menyampaikan pendapat tentu berdasarkan data, fakta dan kenyataaan serta kebenaran yang ada. Ini yang disebut “ngomong sing gawe waton” - bicara harus bisa dibuktikan, didukung fakta, mengandung kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.