Oleh: Harmoko
POLA hidup sederhana kian dibutuhkan di tengah belum pulihnya perekonomian nasional akibat terdampak pandemi. Menjadi tidak pantas sekiranya masih ada yang mempertontonkan kemewahan di hadapan publik, di tengah derita orang lain.
Hidup sederhana, dalam filosofi Jawa sering disebut “Urip sak madyo” – hidup sewajarnya - seadanya – secukupnya - sepantasnya, sudah sejak dulu diajarkan oleh para leluhur.
Hidup sak madyo tak hanya menyangkut soal etika dalam hidup bermsyarakat, tetapi diyakini dapat mendorong terwujudnya kemakmuran dan keadilan sosial.
Begitu pentingnya perilaku sederhana dalam kehidupan sehari – hari, maka para pendiri negeri ini mensarikannya ke dalam falsafah bangsa kita, Pancasila, agar menjadi tuntunan sepanjang masa.
Anjuran agar tidak boros dan tidak bergaya hidup mewah seperti dirumuskan dalam butir- butir sila kelima Pancasila, merupakan cerminan dari urip sak madyo sebagaimana kehendak para founding fathers kita.
Yang hendak saya sampaikan adalah ajakan hidup sederhana bukan datang tiba- tiba, bukan pula diterapkan seketika karena dibutuhkan, tetapi hendaknya menjadi pedoman hidup sehari – hari pada segala macam situasi, lebih – lebih di era pandemi sekarang ini.
Embrio munculnya kecemburuan sosial dapat dipupus lewat perilaku kehidupan sederhana. Hidup sak madyo dapat mencerminkan rasa empati di saat orang lain hidup serba kekurangan.
Sangat tidak berperasaan, di saat orang lain sedang terbelit kesulitan ekonomi, kita malah menebar kemewahan seolah ikut menertawakan yang pada akhirnya dapat memperlebar jurang kesenjangan sosial.
Agama apa pun mengajarkan kepada umatnya untuk hidup sak madyo, tidak boros, tidak riya, tidak pula mengada – adakan.
Patut diingat, hidup sak madyo bukan berarti hidup miskin ( tidak berharta benda). Tetapi bagaimana menata diri agar hidupnya tidak berlebihan. Dapat membatasi diri dengan perbuatan semestinya, bukan yang tidak semestinya. Bukan ngoyo, bukan pula neko - neko.