ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADA satu pertanyaan mendasar yang pernah dilontarkan Presiden SBY ketika silaturahmi dengan para pemimpin redaksi media massa nasional di Istana Negara, Jakarta beberapa waktu lalu. Pertanyaan yang sekaligus sebagai refleksi tersebut menyangkut sistem distribusi kekuasaan. Apakah check and balances di antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah berjalan baik? Pertanyaan lanjutannya adalah, sistem pemerintahan apa yang kita pilih: presidensial atau semi-parlementer? Pertanyaan ini menjadi penting karena jika mengacu pada UUD 1945, maka sistem yang kita pilih adalah presidensial. Hanya saja, dalam praktiknya kadang terjadi kerancuan, jika tidak ingin dikatakan overlapping. Satu contoh riil ketua umum partai dibolehkan menjadi menteri. Padahal, dalam sistem presidensial, sebaiknya ketua umum parpol tidak boleh menjabat menteri. Dalam diskusi yang digelar di DPD RI, di Senayan, Jakarta, Rabu (9/10) lalu, mencuat pemikiran perlunya lebih tegas memilah pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Rangkap jabatan kembali dipersoalkan publik. Pemilahan ini didasari atas pemikiran, jika ketua umum parpol menjadi menteri dikhawatirkan akan merusak kekuasaan legislatif. Artinya, pejabat pemerintah itu, boleh jadi, ikut mempengaruhi kadernya di DPR dalam penyusunan kebijakan - kebijakan. Kondisi semacam ini bisa merusak sistem kekuasaan karena eksekutif mengintervensi legislatif. Bisa juga sebaliknya, melalui kadernya di legislatif ikut menggalang kekuatan agar kebijakan yang akan diterapkan oleh menteri kader parpol mulus dilaksanakan. Padahal kedua kekuasaan ini (eksekutif dan legislatif) mestinya seiring sejalan, tidak saling intervensi dan menjatuhkan satu sama lain. Tetapi, saling intervensi, merupakan kondisi yang tak bisa dihindari di negeri kita saat ini. Perlu terobosan agar pembagian kekuasaan sesuai porsinya masing – masing semakin kuat, sehingga penyelenggara negara lebih fokus menjalankan tugasnya memajukan bangsa. Pemikiran para pakar agar ketua umum parpol tidak boleh jadi menteri, sebaiknya segera direspons. Jelang pemilu legislatif, ada baiknya pejabat negara dari unsur parpol segera berbenah. Mengundurkan diri dari jabatan eksekutif merupakan langkah simpatik, apalagi bagi mereka yang kerabat dekatnya sedang mencalonkan diri sebagai caleg atau capres sekalipun. Sistem kepartaian pun perlu ditata lagi untuk memperkuat sitem presidensial. Parpol yang terlewat banyak, boleh jadi, kurang banyak memberikan konstribusi bagi kemajuan bangsa. Refleksi perlu dilakukan setelah 15 tahun reformasi. Begitu juga koreksi dan perbaikan – perbaikan. Ini wajib, sebab kita tentu tak ingin terjadi koreksian yang lebih besar, dramatis dan radikal. (*).
ADVERTISEMENT
Berita Terkait
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berita Terkini
ADVERTISEMENT
0 Komentar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT