“Menjadi renungan kita bersama, ego kelompok yang semakin transparan, jika dikemas sedemikian rupa tak jarang menimbulkan ketersinggungan dan gesekan serta embrio perpecahan..”
-Harmoko-
Menyelaraskan belakangan menjadi “kata” yang sering diaktualkan dalam membangun bangsa dan negara. Sebut saja menyelaraskan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Tujuan yang hendak dicapai adalah terjadinya harmonisasi antar- institusi-lembaga, antara pemerintah pusat dengan daerah dalam melaksanakan program pembangunan.
Tentu bukan sebatas kata yang diaktualkan, tetapi aksi nyata harmonisasi yang hendaknya diaktualisasikan. Aktualisasi harmonisasi tak cukup dengan koalisi dan kolaborasi tanpa aksi.
Harmonisasi menuntut adanya kesepahaman seluruh elemen bangsa, utamanya kekuatan sosial dan politik di negeri ini.
Dinamika politik yang terjadi belakangan ini yang ditandai belum sepenuhnya seirama dalam merespons penerapan kebijakan politik, dinilai dapat melemahkan pondasi harmonisasi.
Perbedaan sikap politik menjadi keniscayaan dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, tetapi kesepahaman politik menjadi kunci membangun keharmonisan.
Kesepahaman bukan terhenti setelah terbangun koalisi dan kolaborasi, tetapi terus teraktualisasi dalam kebijakan dan program pembangunan, termasuk di dalamnya kebijakan politik pemerintahan dan kenegaraan.
Soal kesepahaman ini menjadi penting. Dunia pun memberi perhatian khusus dengan adanya peringatan Hari Perdamaian dan Kesepahaman Dunia (World Peace and Understanding Day) setiap tanggal 23 Februari. Peringatan ini adalah ajakan untuk bertindak dengan merangkul pemahaman,
empati, dan kolaborasi untuk membangun dunia yang lebih damai dan harmonis bagi semua orang.
Mempromosikan sikap saling pengertian dan toleransi antarindividu dari berbagai latar belakang budaya, agama dan etnis. Kesepahaman semakin terasa pentingnya di tengah menghadapi tantangan global yang meliputi konflik etnis, agama, dan konflik politik yang mempengaruhi banyak negara di dunia, termasuk negeri kita.
Itulah perlunya menyatukan kesepahaman menghindari konflik, tak terkecuali konflik politik untuk mewujudkan perdamaian dan keharmonisan negeri kita dalam berbagai sektor kehidupan.
Sering dikatakan konflik politik itu urusannya para elite dan partai politik, itu ada benarnya, tetapi jangan salah, konflik politik yang berkepanjangan dapat mengganggu stabilitas politik yang pada ujungnya akan menghambat eksekusi program pembangunan. Jika sudah demikian, rakyat juga yang akan menanggung derita.
Dalam sejarah kehidupan manusia, juga dalam sejarah bangsa kita , konflik politik, pertikaian antar sesama elemen masyarakat dan bangsa sulit dihindari.
Kita paham betul, pertikaian yang terjadi dalam masyarakat bisa disebabkan oleh banyak faktor kepentingan. Dan kepentingan-kepentingan yang bersinggungan mengakibatkan ketidak harmonisannya hubungan dalam kehidupan bermasyarakat.
Maka, pada setiap generasi setiap pemimpin yang ada, juga diuji kemampuannya menyelaraskan beragam kepentingan politik guna
mempertahankan persatuan dan menciptakan kerukunan.
Negeri kita sudah teruji, keberagaman dan perbedaan bukan sebagai penghalang. Bahkan menjadi penguat perjuangan mengusir penjajah hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menjadi renungan kita bersama, mengingat belakangan acap mencuat ego kelompok yang berakibat kepada munculnya embrio perbedaan.
Semakin transparan, jika kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga tak jarang menimbulkan ketersinggungan dan gesekan serta embrio perpecahan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Itulah perlunya aktualisasi harmoni dengan menyelaraskan pemahaman bahwa ego kelompok tidaklah elok, ego politik tidaklah etik, ego jabatan dan kekuasaan haruslah disingkirkan.
Perlu adanya ketulusan dan kesadaran bahwa bersama membangun harmoni hasilnya lebih pasti, telah teruji kian memperkuat persatuan dan kesatuan.
Mari bersama membangun harmoni. Bukankah kebersamaan adalah lebih baik ketimbang kesendirian. Bersama menuju sejahtera, ketimbang sendiri, lagi menderita. (Azisoko).