JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Mantan Ketua DPRD Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, menegaskan dirinya tidak terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan untuk rumah susun (rusun) di Cengkareng, Jakarta Barat.
Bahkan dirinya mengaku tidak tahu menahu perihal kasus yang terjadi pada tahun 2016 silam itu.
"Saya baru pertama jadi ketua DPRD Jakarta kalau tidak salah. Di situ tahun 2015 terjadi Pergub, tidak ada Perda, tidak ada kaitannya dengan saya. Saya mengenai Cengkareng itu enggak ngerti, tanahnya di mana saja saya enggak tahu,” ujar Prasetyo Edi saat ditemui di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin, 17 Februari 2025.
Kendati dirinya tidak tahu menahu perihal kasus dugaan korupsi itu, Prasetyo Edi mengatakan dirinya tetap hadir sebagai saksi.
Baca Juga: Hari Ini Polisi Periksa Eks Ketua DPRD Jakarta Terkait Dugaan Korupsi Pengadaan Rusun
Dia juga menyampaikan kepada penyidik bahwa permasalahannya bukan di Perda tapi di Pergub.
Bahkan dirinya juga mengajukan untuk membuat panitia khusus (pansus) untuk mengusut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut.
“Di sini juga temuan BPK, langsung saya buat Pansus, kebetulan saat itu diketuai oleh almarhum Mas Gembong (Gembong Warsono)," beber Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Indonesia (PDIP).
Prasetyo Edi menilai, perkara dugaan korupsi pengadaan lahan untuk rusun di Cengkareng bermula pada saat Pemprov Jakarta lewat Dinas Perumahan dan Gedung (Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman) membeli lahan di Cengkareng Barat, Jakarta Barat senilai Rp668 miliar.
Tanah itu dibeli dari seseorang bernama Toeti Noezlar Soekarno pada 2015.
"Lahan tersebut rencananya akan dibangun rumah susun. Pemprov Jakarta dan pihak kuasa hukum Toeti sepakat membeli lahan Rp14,1 juta per meter pada 7 Oktober 2015," jelas Prasetyo Edi.
Namun kemudian, kata Prasetyo Edi, dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap APBD Jakarta tahun 2025 menyatakan lahan itu bermasalah.
Lalu BPK mencatat kalau lahan itu masih berstatus tanah sengketa antara Toeti dengan Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPKP) Jakarta.
"Berdasarkan keterangan DKPKP, tanah tersebut tercatat sebagai bagian aset per 31 Desember 2015," kata Prasetyo Edi.
Lebih lanjut, menurut Prasetyo Edi, pada tahun 2015 APBD Jakarta disahkan menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub).
Baca Juga: Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah, 3 Ruangan Kementerian ESDM Digeledah Kejagung
Namun tidak tercapainya kesepakatan (deadlock) terjadi karena ketegangan antara Gubernur Jakarta pada saat itu Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan DPRD Jakarta.
Lalu Kemendagri sempat menggagas upaya mediasi sebenarnya memberi waktu tujuh hari untuk Pemprov Jakarta dan DPRD membahas RAPBD 2015.
"Ahok saat itu tak mau kompromi dengan DPRD, hingga akhirnya memutuskan APBD sepenuhnya dibahas dan disahkan eksekutif menggunakan Pergub Nomor 160 Tahun 2015 tentang APBD Tahun Anggaran 2015," jelas Prasetyo Edi.
Selanjutnya, Prasetyo Edi mengatakan, berdasarkan undang-undang nomor 15 tahun 2004 maka DPRD Jakarta wajib menindaklanjuti LHP BPK tentang masalah pembelian lahan cengkareng.
Sehingga dibentuklah Pansus Aset dan diputuskan almarhum Gembong Warsono sebagai Ketua Pansus Aset, ketika itu yang bersangkutan menjabat ketua Fraksi PDIP.