JAKARTA (Poskota) - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengimbau masyarakat memiliki asuransi kesehatan swasta untuk ikut menanggung biaya pengobatan. Alasannya, iuran BPJS Kesehatan saat ini terlalu murah sehingga tidak mampu menanggung 100 persen biaya pengobatan.
Pernyataan Menkes tersebut menuai kontroversi dari berbagai pihak. Pemerintah dinilai gagal menjamin kesehatan bagi masyarakat, terutama kalangan kurang mampu dan pekerja bergaji rendah.
Salah seorang pekerja di Jakarta Barat, 29 tahun, Dimas, mengatakan seharusnya Menkes bisa memastikan bahwa BPJS Kesehatan adalah asuransi milik pemerintah yang dapat melayani seluruh pasien, termasuk menanggung seluruh biaya pengobatan peserta BPJS.
"Kalau negara memberikan statement seperti itu, artinya negara gagal memenuhi kebutuhan kesehatan rakyat. Lantas kita selama ini bayar pajak untuk apa? Kalau memang pada akhirnya masyarakat diminta mengalihkan atau menambah asuransi swasta," kata Dimas, kemarin.
Dia mengungkapkan, tidak semua masyarakat punya banyak uang. Apalagi masih banyak yang bekerja dengan gaji bulanan di bawah UMR. "Rakyat ini kan enggak semua orang kaya, rakyat yang penghasilannya pas-pasan atau di bawah UMR mau iuran BPJS saja sudah berat, ini disuruh pakai asuransi swasta," tambahnya.
Menurut Dimas, BPJS Kesehatan seharusnya menanggung semua biaya dan kebutuhan pasien selama menjalani pengobatan suatu penyakit, termasuk saat pasien dirawat inap di rumah sakit. Dia juga menyinggung kepanjangan BPJS yaitu jaminan. Artinya, dari nama ini saja, pemerintah mesti memberikan jaminan dengan menanggung semua biaya demi kesehatan rakyatnya. "Mau itu penyakitnya paling serius juga, ya negara harus menjamin, mengcover. Harusnya bisa," tuturnya.
Di sisi lain, Dimas menuturkan, BPJS Kesehatan juga perlu mengevaluasi pelayanan terhadap pasien. Sebab menurut dia, pelayanan kesehatan bagi masyarakat adalah prioritas yang seharusnya bisa dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah.
"Harus bijak dalam menggunakan anggaran. Menkes juga harus tahu kebutuhan kesehatan itu paling penting. Orang kalau sehat kan baru bisa belajar, bisa beraktivitas," katanya.
Senada dengan Dimas, Asiyah, 39 tahun, yang sehari-harinya menjadi ibu rumah tangga, heran mengapa Menkes mengeluarkan imbauan semacam itu. Menurut dia, BPJS Kesehatan harus bisa memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan malah disarankan untuk memiliki asuransi swasta.
"Kan sudah bayar BPJS Kesehatan, masa harus pakai asuransi kesehatan lagi? Ya mending pakai asuransi swasta sekalian dong kalau begitu," tuturnya.
Asiyah mengatakan, salah satu kelemahan BPJS Kesehatan yakni tidak dapat menanggung semua biaya obat untuk pasien. Karena beberapa kali saat dia berobat, ada obat tertentu yang seharusnya dikonsumsi malah tidak ditanggung BPJS. Padahal seharusnya BPJS Kesehatan hadir untuk menjawab masalah tersebut.
"Kadang ada beberapa obat yang enggak ditanggung BPJS, tergantung sakitnya apa, jadi mau enggak mau disuruh beli," kata dia.
Keluhan yang sama disampaikan Yenny, 46 tahun, ibu tiga anak di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia menyebutkan, meski sudah bayar iuran BPJS Kesehatan setiap bulan, ada beberapa obat yang tidak ditanggung BPJS. Menurutnya, obat yang ditanggung BPJS hanya obat generik. "Tiap bulan selalu dibayar. Tapi tidak ditanggung 100 persen kalau sakit," ucapnya.
Dia juga meminta agar pelayanan BPJS ditingkatkan, terutama kemudahan dirujuk ke rumah sakit dari fasilitas kesehatan (faskes) pertama. Sebab, sering kali rujukan ke rumah sakit dari faskes pertama itu dibatasi berdasarkan kuota pasien sehingga mempersulit pengobatan. Padahal, iuran bulanan BPJS rutin dibayarkan.
Namun, Yenny tetap akan menggunakan BPJS Kesehatan walaupun tidak bisa menanggung semua jenis penyakit. Dia enggan memiliki asuransi kesehatan swasta karena juga sering dipersulit saat ingin berobat.
"Asuransi swasta juga banyak yang mengeluh. Sama saja dipersulit jika kita mau mengklaim di rumah sakit jadi ribet. Jadi pakai yang sudah ada saja, pakai BPJS Kesehatan, enggak pusing," ungkapnya.
Yenny pun berharap BPJS Kesehatan dapat dimaksimalkan dan menanggung 100 persen semua penyakit serta memberikan kemudahan pelayanan saat menjalani pengobatan di rumah sakit. "Jangan dipersulit. Orang sakit bukannya dipermudah, ini mah malah dipersulit," katanya.
Warga Depok, Abdul Wahab, 55 tahun, menuturkan, permasalahan BPJS Kesehatan yang tidak bisa menanggung 100 persen semua penyakit memang memberatkan dirinya. Dia menuturkan, BPJS bagaimanapun adalah institusi pemerintah yang seharusnya meringankan beban, bukan mencekik rakyat. "Percuma jika sudah bayar tapi tidak ditanggung 100 persen," katanya.
Dia sangat keberatan jika kemudian harus memiliki asuransi kesehatan swasta. Karena menurutnya, kalau menggunakan asuransi swasta justru semakin memberatkan. Penghasilannya setiap bulan tidak cukup membayar biaya asuransi swasta yang mahal itu.
"Kalau gaji besar di atas UMR, pindah ke asuransi swasta enggak masalah. Ini boro-boro, sudah gaji di bawah UMR, ditambah harus bayar asuransi yang swasta juga," kata dia.
Hal yang sering menjadi masalah dan membuat Abdul Wahab kerepotan, yaitu ketika sedang sakit parah dan harus dirujuk ke rumah sakit. Sebab, dia pernah dirujuk ke rumah sakit, lalu dioper ke rumah sakit lain, kemudian dipindahkan lagi ke rumah sakit yang lain.
"Makanya ribet kalau pakai BPJS. Tapi kalau mau pakai yang swasta kan mahal. Belum lagi kalau pakai BPJS, obat yang bukan generik tidak ditanggung BPJS," ujarnya.
Dia berharap, pemerintah mengawasi kinerja BPJS Kesehatan agar maksimal membantu rakyat kecil. "Jangan yang sudah sakit malah tambah sakit, bukan tambah sembuh setelah menggunakan BPJS karena banyak persyaratan," katanya.
Selain itu, beberapa warga Bekasi juga menilai penggunaan asuransi swasta sebagai pelengkap BPJS Kesehatan bukan hal yang tepat. "Yang ada malah nambah pengeluaran lagi kalau pakai asuransi tambahan," ujar Sari, 35 tahun, warga Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.
Menurut Sari, BPJS Kesehatan yang tidak menanggung 100 persen biaya pengobatan memberikan dampak besar bagi masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah. "Saya pakai BPJS kelas 2, tapi tetap ada biaya tambahan. Waktu saya melahirkan dengan operasi, saya harus siapkan dana sendiri untuk menutupi kekurangannya," tuturnya.
Sari juga mengeluhkan fasilitas rumah sakit yang terbatas. Dia bahkan harus membayar tambahan untuk mendapatkan obat dengan kualitas yang lebih baik. "Bahkan, kalau mau obat yang bagus, kita harus keluar uang lagi," katanya.
Meski begitu, Sari mengakui bahwa program BPJS adalah inisiatif yang baik, tetapi pelayanannya masih jauh dari harapan. "Programnya lumayan bagus, tapi pelayanannya tidak maksimal, apalagi untuk masyarakat yang kurang mampu," ujarnya.
Sari menyoroti masalah antrean panjang dan lambatnya penanganan medis sebagai kekurangan yang perlu segera diperbaiki. "Antrean panjang, penanganan lambat, apalagi kalau pasiennya sakit parah. Itu harus diperhatikan lebih serius," tambahnya.
Sementara itu, Abdul, 38 tahun, warga Kedaung, Kecamatan Babelan, juga menyuarakan kekecewaannya terhadap layanan BPJS Kesehatan. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya memastikan pengobatan gratis yang memadai untuk masyarakat. "Harusnya pemerintah bisa menanggung 100 persen biaya pengobatan, karena kami sudah rutin bayar iuran setiap bulan," katanya.
Abdul menyarankan, jika masyarakat harus beralih ke asuransi swasta, maka iurannya sebaiknya setara dengan BPJS Kesehatan. "Kalau memang ada asuransi lain, iurannya harus sama seperti BPJS," ujarnya.
Ia juga menyoroti lambatnya proses penanganan di rumah sakit, termasuk sulitnya mendapatkan kamar bagi pasien. "Penanganannya lambat dan untuk dapat kamar pasien juga lama," tambahnya.
Ke depan, Abdul berharap agar BPJS Kesehatan dapat memberikan layanan yang setara tanpa membedakan pasien berdasarkan metode pembayaran. "Jangan bedakan layanan pasien BPJS dengan yang bayar tunai atau mandiri," tegasnya.
Manfaat Non Medis
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah mengatakan, asuransi kesehatan swasta bukan dalam posisi sebagai kompetitor BPJS Kesehatan. Karena kepesertaan JKN adalah wajib bagi setiap penduduk Indonesia. Namun, jika masyarakat mampu dan ingin mendapatkan manfaat non medis lebih, maka dipersilakan juga memiliki asuransi swasta.
Rizzky menjelaskan, asuransi kesehatan swasta dapat mengembangkan produk untuk menjamin pelayanan kesehatan di luar manfaat yang dijamin BPJS Kesehatan. Karena itu, menurut dia, peluang kerja sama dengan pihak asuransi swasta sebetulnya dapat dilaksanakan BPJS Kesehatan selama tidak bertentangan dengan regulasi yang berlaku.
Hal itu disampaikan Rizzky menyusul beredarnya informasi bahwa BPJS Kesehatan memiliki keterbatasan menjamin penyakit dan hanya menjamin sebagian biaya berobat.
Terkait itu, Rizzky menuturkan, cakupan manfaat JKN yang dikelola BPJS kesehatan sangat luas. Pelayanan diberikan berdasarkan indikasi medis peserta. "Ada ribuan jenis diagnosis penyakit yang dijamin JKN sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023," kata Rizzky.
BPJS Kesehatan, kata dia, menanggung biaya pengobatan ribuan penyakit, dari yang murah hingga mahal. BPJS Kesehatan juga menjamin biaya pelayanan kesehatan yang memerlukan perawatan berjangka waktu lama atau bahkan berlangsung seumur hidup. Ia mencontohkan cuci darah bagi pasien gagal ginjal, penderita talasemia dan hemofilia, pasien yang menjalani pengobatan kanker, insulin untuk penderita diabetes, dan sebagainya.
Penyakit Tak Ditanggung BPJS
Ada sejumlah penyakit yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 75/2019.
Dalam aturan tersebut, terdapat 21 penyakit dan perlindungan kesehatan yang tidak bisa ditanggung BPJS Kesehatan. Beberapa di antaranya, pertama adalah penyakit yang berupa wabah atau kejadian luar biasa.
Kedua, perawatan yang berhubungan dengan kecantikan dan estetika, seperti operasi plastik. Ketiga, penyakit akibat tindak pidana, seperti penganiayaan atau kekerasan seksual. Keempat, penyakit atau cedera akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau usaha bunuh diri.
Kelima, penyakit akibat konsumsi alkohol atau ketergantungan obat. Keenam, penyakit yang terkait dengan pengobatan mandul atau infertilitas. Ketujuh, penyakit atau cedera akibat kejadian yang tak bisa dicegah, seperti tawuran.