JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Film dokumenter drama (doku drama) karya sutradara handal Hanung Bramantyo dengan Direktorat Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menghibur masyarakat Indonesia dengan suguhan pariwisata, budaya dan kesenian masyarakat pedesaan.
Dua film dengan judul 'Desa Para Pem impi(n)’ dan 'Jawara Desa' tersebut berkisah tentang dua desa, yaitu pertama Desa Tanjung Setia, Pesisir Barat Lampung.
Kedua, Desa Akebay, Pulau Maitara, Tidore, Maluku Utara.
Film ini berkisah tentang mewujudkan mimpi untuk memajukan desa.
"Di dalam film tersebut ada semangat juang anak sekolah di pedesaan terpelosok Pulau Maitara, perjuangannya luar biasa untuk sekolah dengan sarana dan prasana yang kurang memadai sampai melewati laut basah semua baju dan sepatunya, tapi tetap semangat," tutur La Ode Ahmad Pidana Bolombo, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Ekonomi dan Pembangunan di Djakarta Teater XXI, Jalan MH Thamrin, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/2023) malam.
La Ode juga mengakui jika film tersebut mirip dengan film 'Laskar Pelangi' yang sempat booming beberapa tahun lalu.
"Iya mirip dari daya juang anak sekolahnya dan akhirnya menjadi orang sukses, dalam hal ini kepala desa yang sukses membangun desanya, tapi dalam versi film pendek ya," tambahnya.
Direktur Lembaga Kemasyarakatan dan Adat Desa, PKK dan Posyandu, Ditjen Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri, Tb. Chaerul Dwi Sapta mengatakan jika film karya Hanung Bramantyo ini sangat inspiratif.
"Menyaksikan film ini kita jadi tahu potensi desa, baik warga desa maupun kepala desanya, kita bisa mewujudkan mimpi untuk memajukan desa," ucapnya.
Regina Surbakti, asisten sutradara dalam film doku drama 'Desa Para Pemimpi(n), mewakili sutradara Hanung Bramantyo yang tidak hadir karena sakit, menyampaikan terima kasih kepada Kemendagri.
"Saya berterima kasih kepada Kemendagri yang sudah mempercayai media film untuk menjadi sarana edukasi untuk masyarakat," tambahnya.
"Semoga film ini bisa menjadi penyemangat bagi desa-desa lainnya," papar Regina.
Regina menyampaikan pengalamannya dalam menggarap film dokumenter ini diakui sangat menyenangkan dan banyak prosesnya.
Ada talent profesionalnya dan ada karakter aslinya.
"Awalnya kita riset dulu secara online, setelah menemukan desa yang berprestasi barulah kita datangi, kemudian kita mencari tokoh desa yang sering disebut namanya, seperti Ado. Setelah menemukan itu kita cari, ternyata Ado sangat besar jasanya memberi kontribusi kepada desanya," bebernya.
Dari proses riset, lanjut Regina, pihaknya mencoba membuat ulang supaya penonton juga tergambarkan, di antaranya bagaimana moment pertemuan Adi dengan Jeni Black Mamba. Setelah itu kita buat skrip, dan kita minta bantuan mereka untuk kembali mengingat berbagai peristiwa yang pernah mereka lakukan dan rasakan.
Semua kisah nyata mereka.
"Sebenarnya skrip hanya pancingan saja, mereka memakai bahasa mereka sendiri," tegasnya.
Untuk di Tidore lebih seru lagi, kata Regina, karena memiliki cara penunturan yang beda, seperti di antaranya, bagaimana bilang tidak dengan trapapa.
"Bilang iya dengan 'saya' sehingga saya sempat bingung mana yang menjadi kepala desanya," ungkapnya.
Sebagai anak muda, Regina mengaku belajar lagi.
"Ketika saya harus ke desa dan bertemu dengan orang-orang yang ternyata sangat menginspirasi saya," tambah Regina.
Adapun Ado, tokoh utama dalam film ini, menyampaikan, ia secara pribadi senang banget bisa ada dalam film dokomenter ini.
"Karena bisa mengangkat ade-ade yang ada di desa," ucapnya.
Ado mengaku yang membuat ia tetap stay di desanya karena gara-gara dirinya bertemu dengan Jeni Black Mamba.
"Kesannya seru banget, mereka semangat karena film dokumenternya akan ditonton teman-teman di seluruh Indonesia," pungkasnya. (mia)