FENOMENA kasus kematian satu keluarga belakangan ini menjadi perhatian publik.
Pasalnya, ada tiga kasus kematian yang sangat tidak wajar karena ditemukan sudah membusuk di rumahnya.
Bahkan ada yang hanya tinggal kerangka.
Anehnya, dua kasus kematian ini justru diketahui anggota keluarganya, bahkan mereka tidur dengan si mayat yang sudah membusuk.
Perilaku manusia seperti ini tidak masuk dalam logika orang waras, namun ini terjadi di dua lokasi terpisah.
Dari dua kasus yang diungkap pihak kepolisian bersama tim ahli forensik di kawasan Kalideres, Jakarta Barat dan Cinere, Depok menyimpulkan bahwa kematian para korban ternyata secara wajar alias bunuh diri, sehingga kasusnya dihentikan.
Kini kasus ketiga kembali terjadi di kawasan Koja, Jakut.
Dimana Ayah dan Anak Balitanya ditemukan tewas membusuk.
Korban HR (50) tewas telungkup di depan kamar mandi sedangkan AQ (2) meregang nyawa di kamar.
Hasil Otopsi, HR tewas sudah 10 hari dan di sekitar tubuhnya ditemukan darah.
Sedangkan AQ tewas 3 hari terdapat luka di wajah.
Dan selama ini, Istri dan anak keduanya yang masih hidup tidur bersama kedua korban.
Polisi sendiri kesulitan mengumpulkan barang bukti karena tempat kejadian perkara (TKP) sudah rusak.
Untuk memastikan penyebab kematian Bos Travel Umroh tersebut masih menunggu hasil dari Tim Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri.
Jika melihat dua kasus sebelumnya, apakah kasus di Koja ini terindikasi bunuh diri ? Kecelakaan ? Atau dibunuh ? Itu harus dibuktikan lewat "scientific crime investigation”.
Karena kasus tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan perlu ada bukti yang memperkuat menjadi petunjuk siapa pelaku dan apa sebab kematiannya.
Jika ini kasus bunuh diri, sesungguhnya bukan isu yang intisarinya berada di ranah penegakan hukum.
Dimana sekian banyak pemangku kepentingan untuk pencegahan agar tidak terjadi peniruan (copycat suicide) dan wabah bunuh diri (suicide epidemic) sepertinya tidak berjalan selama ini.
Jangan lupa. Selama pandemi Covid 19, semua pihak hanya fokus tertuju pada perang terhadap virus.
Dan kesehatan fisik menjadi sasaran berbagai kebijakan saat itu.
Sehingga kurang proporsional perhatian diberikan pada kesehatan jiwa.
Akibatnya, jangan-jangan berbagai peristiwa kejahatan ekstrim dan tragedi kemanusiaan yang terjadi belakangan ini merupakan manifestasi dari dikesampingkannya perhatian pada kesehatan jiwa tersebut.
Pada masa seperti sekarang, ketika gangguan kejiwaan sangat rentan mewabah (berdasarkan peringatan WHO), ekspos yang tinggi tentang bunuh diri dapat menginspirasi masyarakat, terutama mereka yang tergolong rentan untuk meniru perbuatan serupa.
Jadi, perlu diingat bukan hanya virus yang mewabah.
Tekanan batin dan beraneka perilaku juga sepertinya sudah menjadi pandemi.
Artinya, problem kesehatan mental harus mendapat perhatian serius dari semua kepentingan termasuk pemerintah.
Bukan malah membiarkan. (*)