“Berkompetisi bukan dengan saling menjatuhkan, tetapi lebih kepada mengembangkan kreasi dan inovasi untuk meningkatkan kualitas diri. Tak hanya keahlian dan kekuatan, juga kian menguatkan jati dirinya sebagai anak negeri..”
-Harmoko-
Jabatan dan kekuasaan menjadi daya tarik manusia, siapa pun dia, sepanjang masa.
Seseorang belajar, meningkatkan skill dan keahlian, tak lain untuk membekali diri, menyongsong masa depan dengan jabatan dan kekuasaan yang melekat atas keahliannya.
Begitu pun berpolitik untuk mencari kekuasaan.
Apakah salah? Jawabnya “tidak”, sepanjang baik dan benar cara mendapatkannya serta baik dan benar pula dalam menggunakannya.
Berburu jabatan dan kekuasaan sah-sah saja, tanpa ada larangan.
Yang tidak dibenarkan jika dilakukan dengan kecurangan, menabrak aturan serta memaksakan kehendak dengan menghalalkan segala cara.
Kecenderungan seperti ini tak sesuai alam demokrasi kita, tak selaras dengan falsafah hidup bangsa kita, Pancasila.
Hingga tak jarang meninggalkan tragedi karena adanya ambisi menguasai jabatan dengan cara-cara yang tidak benar, tak sesuai etika dan norma.
Sejarah mencatat ambisi jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara akan berakhir petaka.
Kisah Raja Fir’aun dan Adolf Hitler, di antara catatan sejarah yang patut menjadi renungan kita bersama untuk tidak terjebak pada ambisi berburu jabatan secara gelap mata dan membabi buta.
Mencari jabatan boleh-boleh saja dengan menyiapkan diri melalui uji kompetensi, prestasi dan kelayakan diri sebagaimana ketika mengikuti proses “lelang jabatan”.
Tetapi tidak lantas mencari-cari, dengan penuh hasrat ambisi melalui jalur transaksi.
Meminta jabatan secara paksa lewat kolega dan main sogok segala.
Jika jabatan publik sudah diperjualbelikan, dilakukan secara transaksional, dapat diduga akan mendatangkan penyelewengan dan penyimpangan, tak acap menimbulkan banyak masalah, akhirnya jauh dari amanah.
Ingat! Jabatan adalah amanah, karenanya siapa pun yang menerimanya wajib menjalankan dengan penuh penghormatan dan tanggung jawab moral yang tinggi.
Berupaya secara maksimal tidak tergoda oleh hasutan, ajakan penyalahgunaan dan penyelewengan.
Tidak tergiur upeti, komisi, dan gratifikasi untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam filosofi Jawa disebutkan “Ojo ketungkul marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman” - jika diterjemahkan secara bebas memberi pesan kepada kita agar jangan terlampau terobsesi atau terkungkung oleh keinginan memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
Kedudukan dapat diartikan sebagai tahta, singgasana, jabatan dan kekuasaan.
Pitutur luhur yang diajarkan Raden Said, lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga ini, masih tetap aktual diterapkan, termasuk sekarang ini.
Lima bulan lagi, rakyat Indonesia akan memilih pemimpin bangsa untuk lima tahun ke depan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Memilih anggota DPRD tingkat kabupaten/kota hingga DPR RI yang berkantor di Senayan.
Rakyat memilih juga pemimpin nasionalnya, menuju singgasana Istana sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Menjadi bakal calon hingga calon legislatif, capres dan cawapres adalah proses uji kompetensi administratif yang berlanjut kepada uji kelayakan melalui gagasan dan program, visi dan misi, termasuk poin penting adalah apa yang akan dilakukan secara riil untuk membangun bangsa dan negara.
Proses inilah yang hendaknya berjalan secara transparan, penuh kejujuran dan keadilan (jurdil) oleh lembaga penyelenggara pemilu dari pusat sampai level pelaksana, petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara).
Tak kalah pentingnya kejujuran, sportivitas dan profesionalisme para kandidat pejabat dan wakil rakyat dalam berkompetisi dari mulai pendaftaran hingga pencoblosan.
Jika yang dikejar sebatas kedudukan, jabatan dan kekuasaan, tanpa disertai rasa tanggung jawab menggunakannya untuk sebaik-baik kepentingan rakyat, itulah cerminan dari “Katunggul Marang Kalungguhan”.
Hanyalah tergoda oleh kekuasaan, tetapi sejatinya tidak mampu mengelola kekuasaan untuk kemaslahatan umat.
Boleh jadi memiliki kemampuan, tetapi abai setelah menduduki jabatan dan kekuasaan.
Sudah duduk kursi bergensi, menjadi lupa berdiri untuk berjalan ke sana kemari menyapa rakyat yang dulu memilihnya.
Para elite negeri ini hendaknya memberi keteladanan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Berkompetisi bukan dengan saling menjatuhkan, tetapi lebih kepada mengembangkan kreasi dan inovasi untuk meningkatkan kualitas diri.
Tak hanya skill, keahlian dan kekuatan, juga kian menguatkan jati dirinya sebagai anak negeri yang profesional dan memiliki integritas moral.
Marilah ”Maju tanpa menyingkirkan, naik tinggi tanpa menjatuhkan.
Menjadi baik, tanpa menjelekkan.
Benar, tanpa menyalahkan orang lain” (Azisoko)