“Kehendak rakyat hendaknya menjadi acuan dominan dalam mengambil
keputusan dengan mengesampingkan syahwat politik pribadinya, kelompoknya,
dan koleganya.”
-Harmoko-
Jelang Pilpres, politik ambisius kian menggerayangi ruang publik. Dinamika
politik semacam ini sebenarnya tidaklah masalah jika misinya membangun
kebersamaan, keadilan dan kemaslahatan bersama. Namun, faktanya tak jarang
menimbulkan gesekan, perselisihan dan perseteruan yang berujung kepada
ketegangan. Bahkan, perpecahan dan pembelahan sosial.
Lantas siapakah yang salah? Jawabnya tidak ada yang salah. Kalau pun hendak
dikatakan, yang salah adalah kita semua, manakala kontrol diri menjadi rapuh
karena terbelenggu syahwat politik ingin menguasai demi keuntungan pribadi.
Keinginan menguasai tidak terhindarkan karena orang berpolitik itu sendiri
adalah seni untuk meraih kekuasaan. Tidak terbantahkan juga bahwa hasrat
paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk menguasai (the will to
power).
Dapat dikatakan pula bahwa hasrat (desire) adalah keinginan atau harapan yang
kuat sebagai esensi manusia untuk meraih cita- cita. Tetapi esensi itu akan
berharga, bercahaya dan bersinar jika dilakukan secara baik dan benar. Akan
menjadi redup, menggelapkan alam sekitar jika dilakukan dengan penuh
keburukan, lebih – lebih “kebusukan”.
Jauh dari etik dan moral. Menerabas segala norma dan nilai –nilai luhur budaya
sebagaimana tercermin dalam falsafah bangsa kita, Pancasila.
Maknanya, keinginan untuk berkuasa ini dilakukan dengan memaksakan
kehendak yang dapat berakibat merugikan orang lain, merusak tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menguasai sesuatu, termasuk kekuasaan dan jabatan adalah sah – sah saja jika
dilakukan sesuai dengan etika dan norma yang ada. Dalam bahasa hukum
disebut legal formal dan prosedural. Tetapi tidak dianjurkan, jika dilakukan
secara paksa, sakarepe dewe, sewenang – wenang.
Yang hendak saya sampaikan adalah syahwat politik itu perlu dikelola agar
tidak menjadi liar sebagaimana naluri ingin menguasai dengan menghalalkan
segala cara. Dengan menumpuk kekayaan dan kekuasaan belaka demi
kesenangan pribadi dan keluarganya. Alih – alih untuk kepentingan rakyat,
tetapi yang diuntungkan adalah kerabat dekat.
Syahwat politik harus dibentengi dengan nalar kritis dan akal sehat, sistem nilai
–luhur dan beradab agar tidak bertindak semaunya, melalui cara – cara kotor,
lagi menjijikan.
Kita berharap syahwat politik yang terkendali dan penuh nurani akan
bertransformasi kepada sikap amanah, bertanggung jawab, keadilan dan
kejujuran serta lebih mengedepankan kepada kepentingan umat, bukan kepada
pejabat (siapa yang berkuasa).