JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Konflik militer Sudan turut menjadi perhatian eks pengajar sekolah tinggi intelijen Kopassus dan Badan Intelijen Negara, Mardigu Wowiek Prasantyo alias Bossman Sontoloyo.
Bossman pun kemudian memberikan analisa di balik konflik militer Sudan di mana perang tersebut merupakan perang antar sesama saudara se tanah air mereka.
Konflik militer Sudan menjadi pusat perhatian karena melibatkan dua jenderal perang di sana, yakni Panglima Abdel Fattah Al Burhan dan Wakil Panglima Muhamed Hamdan Dagalo. Keduanya adalah pemimpin de facto Sudan, atau bisa disebut first in command lawan second in command.
Setidaknya sudah ratusan orang tewas dan ribuan lainnya terluka akibat pertempuran dan konflik militer di Sudan. Perang saudara ini pun memicu eksodus ribuan warga Sudan ke negara-negara tetangga. Lantas apa analisa Bossman Mardigu soal konflik militer Sudan?
Kata Mardigu, posisi Sudan dengan Arab Saudi di Laut Merah ibarat Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka.
Arab Saudi Malaysianya, dan Sudan itu Indonesianya.
"Mengapa demikian, karena Sudan sangat mirip Indonesia, kaya akan sumber daya alam seperti gold juga memiliki cadangan logam mineral berharga lainnya, selain minyak dan gas yang juga besar cadangan depositnya," kata Bossman di saluran Youtube-nya, disitat Rabu 3 Mei 2023.
Dia bilang, Sudan yang punya posisi strategis dan kaya akan sumber daya alam tak mengherankan jika pemerintahannya dibuat ribut terus. Menurut Mardigu, perang antara panglima perang dan wakil panglima di Sudan bukan berdiri sendiri.
Melainkan adalah proxy war dari sebuah perang yang lebih besar atau ada larger interest di belakangnya. Untuk diketahui, proxy war adalah siapa yang bertempur di lapangan berbeda dengan niat di belakang yang membantunya.
Sejauh ini Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken sudah mengkonfirmasi lewat pernyataannya. 'Kami Amerika sangat prihatin atas kelakuan Prigozhin dan Wagner Group-nya di Sudan," kata Blinken, disitat redaksi.
Pernyataan itu sekaligus sebagai informasi terbuka Amerika kepada dunia, bahwa ada Rusia di Sudan. Menteri Luar Negeri Rusia, Serge Lavrov, sendiri membenarkan bahwa ada Wagner di sana untuk melindungi rakyat Sudan.
Konflik Sudan Terjadi Jelang Pilpres
Menurut Mardigu, peperangan yang digelorakan oleh dua jenderal perang Sudan karena memiliki kepentingan berbeda. Angkatan bersenjata di Sudan terpecah akibat ada tiga negara besar yang cawe-cawe di sana.
Jenderal Abdel Fattah Al Burhan adalah panglima tentara Sudan dan juga merupakan pemimpin de facto sejak tahun 2021 usai menggulingkan Presiden Omar Al Bashir.
Sebelum keduanya ribut, Jenderal Abdel Fattah Al Burhan bekerjasama dengan pemimpin paramiliter Muhamed Hamdan Dagalo di tahun 2021, di mana Dagalo kemudian menjadi wakil Abdul Fattah dengan pasukan paramiliternya bernama RSF atau Rapid Support Force atau pasukan dukungan cepat.
Kini, pertempuran pertama kali disulut pasukan RSF Muhamed Hamdan Dagalo di situs-situs utama pemerintah. Pada 15 April 2023 lalu, ledakan dan tembakan dilaporkan terjadi di seluruh ibu kota Sudan, Khartoum.
"Mengapa paramiliter RSF menyerang dan akan mengkudeta pemimpin
de facto. Karena Amerika ingin pemimpin Sudan berikutnya berasal dari sipil, sementara militer hanya mengawal pemerintahan. Itu maunya Amerika agar Sudan bisa dikerjain seperti negara-negara lainnya," kata Mardigu.
"Amerika tidak mau negara demokratis itu dipimpin oleh pemimpin kuat seperti dari militer atau orang militer seperti di Sudan."
Sejauh ini Amerika disebut sangat mendekati Abdel Fattah Al Burhan. Amerika disebut banyak memberi fasilitas negara.
Sementara itu, Putin di tahun 2021 juga menandatangani perjanjian 20 tahun untuk membangun Naval Base Rusia di Sudan. Naval Base ini akan menjadi pangkalan 4 kapal perang Rusia, dan 4 kapal selam bertenaga nuklir dan 3.000 pasukan militer angkatan laut Rusia di Sudan, dan di Laut Merah.
Sebagai counter prestasinya, Rusia kemudian memberikan pelatihan militer dan senjata ke Sudan.
"Hal ini membuat Amerika murka dan memperingati Abdel Fattah kalau kerjasama dengan Rusia tetap dijalankan, Amerika tidak membantu Sudan terutama membantu dolar," kata Bossman.
Di sinilah asal pokok keributan, karena Muhammad Hamdan Dagalo sangat pro Rusia dan Abdel Fattah pro Amerika yang akan mengadakan Pilpres agar dirinya bisa bertanding di pilpres.
Dagalo tidak boleh ikut dan harus tetap menjadi orang nomor 2. Dagalo kemudian murka dan menyerang, berusaha mengkudeta Abdel Fattah dibantu Wagner.
Tiga Negara Besar Cawe-cawe di Konflik Militer Sudan
Kepentingan jangan panjang tentu menjadi pertimbangan mengapa ada tiga negara besar ikut cawe-cawe di konflik militer Sudan.
Sudan disebut Mardigu memiliki kekayaan mirip seperti Indonesia, ada tambang emas yang besar di mana 80 persen-nya dimiliki asing terutama Rusia dan Tiongkok.
Kemudian logam tanah jarang dan mineral berharga lainnya. Selain itu Sudan memiliki akses laut yang menghubungkan Laut Mediterania dengan terusan Suez ke Laut Arabia dan Samudra Hindia yang merupakan traffic tersibuk di dunia dalam maritim transportasi dan kekuatan transportasi dunia.
"Emas Sudan merupakan emas yang dipakai Rusia untuk bertransaksi ketika Rusia diembargo. Karena itu Amerika ngotot untuk kendalikan Sudan melalui pemimpin de facto Abdel Fattah Al Burhan," katanya.
Dari sisi Tiongkok, sahabatnya Rusia, military basenya sangat besar di Djibouti, tetangga Sudan, dengan lebih dari 20.000 personel dan kekuatan laut yang cukup besar.
Pertanyaannya, dengan Rusia dan Tiongkok di sana, apakah Amerika akan mundur? "Pastinya tidak. Sudan akan panjang," katanya soal konflik militer Sudan.