“Berbagi tanpa berharap imbalan perlu keteladanan. Lebih – lebih bagi mereka yang punya kemampuan dan kewajiban meneladani melalui kewenangan, kekuasaan dan jabatan yang dimiliki,”
-Harmoko-
Memberi sejatinya merupakan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Itulah sebabnya saling berbagi, tolong menolong menjadi rujukan dalam hidup bertetangga, bermasyarakat.
Lebih luas lagi, dalam berbangsa dan bernegara.
Itu pula mengapa, kita diminta mengembangkan sikap untuk suka memberi pertolongan kepada orang lain.
Ini tak cukup hanya dalam ucapan, tetapi wajib diamalkan sebagaimana makna dari nilai-nilai luhur pengamalan sila kelima Pancasila.
Dengan memberi pertolongan, kita berharap orang yang ditolong dapat berdiri sendiri, setidaknya untuk sementara berkurang beban hidupnya, masalah yang dihadapinya.
Cukup beralasan jika leluhur kita, para pendiri negeri, selalu berpesan agar pemberian-pertolongan didasari karena keikhlasan, tanpa berharap imbalan.
Apalagi dengan disertai dengan tekanan ataupun pemerasan.
Pertolongan yang dibayangi harapan, imbalan dan tekanan, bukan menyelesaikan masalah, tetapi menambah masalah bagi orang yang sedang menghadapi masalah.
Dalam tahun politik ini, bantuan semacam itu, membagi-bagikan sembako dan uang, dengan berharap imbalan, bisa tergolong money politic.
Disinilah perlunya keteladanan pejabat publik, elite politik bahwa memberi bantuan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai pejabat negara atau wakil rakyat.
Pemberian, apapun bentuknya, sebagai upaya meringankan beban hidup yang kian berat, lebih-lebih menghadapi bulan puasa dan lebaran.
Bulan yang, lazimnya, disebut sebagai bulan kenaikan harga.
Tak berlebihan kiranya, aksi sosial seperti ini, menolong orang lain tanpa berharap imbalan, lebih pas dikatakan “saling berbagi”, ketimbang disebut pemberian bantuan.
Kegiatan kemanusiaan sejatinya telah lama diajarkan dan diterapkan oleh para leluhur kita yang kemudian dikristalisasi oleh para pendiri negeri dalam falsafah bangsa sebagai pedoman hidup.
Dalam pepatah Jawa dikenal "Sepi ing pamrih, rame ing gawe" artinya tidak berharap pamrih (pengharapan/ penghargaan), meski ramai dalam pekerjaan/kegiatan.
Arti yang tersirat adalah anjuran agar setiap orang yang hendak menolong orang lain, lakukanlah dengan ikhlas tanpa berharap apa pun baik berupa pujian, sanjungan, pengakuan, imbalan materi atau balas jasa.
Sering dikatakan, gemar menolong-berbagi dengan sesama merupakan bagian dari kepatuhan terhadap norma sosial yang sudah lama ada karena begitu besar manfaatnya.
Jika kemudian kepatuhan terhadap norma sosial itu kian meluntur seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sepantasnya menjadi bahan kajian.
Bukan serta menolak kemajuan.
Kalaupun kepatuhan terhadap norma ini, kemudian terselipi kehendak lain, adanya kepentingan politik tertentu, seperti meraih simpati jelang pemilu, demi meraih kemenangan, hanya dinilai sebagai pelanggaran etika, bukan masuk kategori pelanggaran hukum.
Sekalipun indikasi politik uang begitu kasat mata.
Karena tadi, hanya kepatuhan kepada norma sosial, dengan sanksi sosial yang melekat di dalamnya bagi para pelanggarnya.
Lepas masih adanya pemberian bantuan yang disertai harapan, acap pula imbalan dan tekanan, tetapi sikap peduli dengan saling berbagi kian dibutuhkan, di era kekinian.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, resesi global, dan beragam ancaman krisis yang melanda dunia, termasuk negeri kita, saling berbagi menjadi satu solusi mengatasi masalah sosial.
Bukan saja orang kaya perlu menyisihkan sebagian hartanya untuk mereka yang membutuhkan.
Bahkan juga menyisihkan kemampuan yang dimiliki untuk kemajuan masyarakat sekitar.
Sebut saja networking, akses jaringan pasar dan permodalan dari mereka yang pengusaha besar kepada pengusaha kecil dan menengah, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Para pejabat negeri, politikus hendaknya bisa mengambil momen ini, bukan mengedepankan kepentingan pribadi dan politiknya, tetapi lebih kepada demi kemaslahatan umat.
Untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat.
Bahwa kemudian, terdapat efek positif tumbuhnya simpati publik, itu lebih terhormat, ketimbang memaksakan simpati publik melalui pemberian bantuan dengan imbalan, tekanan dan paksaan.
Inilah yang perlu dibangun melalui keteladanan.
Siapa yang meneladani? Jawabnya siapa pun bisa meneladani, lebih-lebih mereka yang punya kemampuan dan kewajiban meneladani melalui kewenangan, kekuasaan dan jabatan yang dimiliki. (Azisoko)