“Saatnya produksi politik, ketika menggodok paslon capres – cawapres, lebih mengedepankan keterbukaan dan kejujuran. Lebih terpuji, jika setiap parpol melibatkan partisipasi rakyat berupa usulan, masukan dan harapan.”
-Harmoko-
DINAMIKA politik saat ini lebih diwarnai semakin intennya setiap parpol membidik pasangan calon presiden – calon wakil presiden ( Capres – Cawapres). Sejumlah lembaga survei pun sudah mulai memprediksi tingkat keterpilihan dengan memasangkan figur capres – cawapres seperti dikehendaki publik saat ini, ketika survei digelar.
Hasilnya dapat kita saksikan bersama, sejumlah figur yang dipasangkan memiliki peluang meraih kemenangan dengan berbagai alasan.
Kita tahu, setidaknya ada 10 tokoh yang selama ini masuk bursa capres – cawapres. Tokoh itu mencuat karena dengan sengaja dipromosikan oleh parpolnya sebagai capres, karena popularitas dan elektabilitasnya, bisa juga karena kinerjanya yang mampu mempesona publik.
Memasangkan itu terlihat mudah, tetapi tidak semudah seperti dibayangkan. Mencari chemistry itu sulit, sama sulitnya mencari pasangan itu sendiri. Setiap parpol tentu memiliki kriteria dalam menentukan pasangan capres- cawapres. Hanya saja kriteria tak akan sepenuhnya sesuai ekspektasi karena benturan persyaratan Presidential Threshold sehingga harus berkoalisi yang berarti mau tidak mau wajib beradaptasi dengan kepentingan parpol lain. Belum lagi campur tangan bandar, vendor dan sponsor.
Tak ubahnya setiap orang memiliki kriteria pasangan yang menurutnya ideal mendampingi selama dalam hidupnya. Tetapi tidak selamanya kriteria itu dapat terpenuhi seluruhnya karena berbagai hal.
Pada filosofi masyarakat Jawa dikenal istilah “bobot, bibit dan bebet”. Ini biasanya digunakan oleh seseorang (orang tua) jika ingin mencarikan suami atau istri bagi anaknya. Ingin mencari calon menantu.
Standar ideal ini meresap menjadi nilai budaya yang diturunkan ke generasi berikutnya. Dulu, standar ideal “bibit, bobot dan bebet” ini dipegang teguh oleh para orang tua, hingga tak sedikit calon pasangan gagal menikah karena terbentur kriteria tersebut.
Bibit adalah garis keturunan. Ini bukan berarti calon menantu harus berdarah biru, tetapi lebih kepada kebaikan karakter keluarganya. Leluhur yang unggul karakternya menurunkan sifat genetik bawaan unggul kepada generasi berikutnya, anak – anak dan cucunya kelak. Sering dikatakan”kacang ora ninggal lanjaran”.
Kriteria ini merujuk latar belakang, asal usul dan di mana ia tinggal saat sekarang. Kriteria inipun lazim dilakukan saat uji kelayakan pejabat publik, bahkan para wakil rakyat mendatangi rumah si calon pejabat dan berdialog dengan masyarakat sekitar. Lebih – lebih bagi pasangan Capres – Cawapres.