ADVERTISEMENT

Terdakwa Korupsi Impor Baja Kemendag Budi Hartono Divonis 12 Tahun

Selasa, 28 Maret 2023 15:14 WIB

Share
Ilustrasi patung dewi keadilan. (Freepik)
Ilustrasi patung dewi keadilan. (Freepik)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis penjara terhadap dua terdakwa kasus korupsi impor baja dari unsur swasta Budi Hartono. Kedua dinilai memenuhi unsur pidana korupsi.

Terdakwa Budi Hartono dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Budi turut dihukum membayar uang pengganti senilai Rp 91,3 miliar subsider enam tahun penjara.

Lalu, terdakwa Taufik divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Taufik tak dihukum membayar uang pengganti di perkara ini.

"Mengadili, menyatakan kepada para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama," kata Ketua Hakim Eko Ariyanto ketika membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Senin (27/3/2023) malam.

Majelis Hakim memandang kedua terdakwa kasus impor baja terbukti melakukan korupsi hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 1.060.658.585.069. Keduanya pun dipandang menyalahi kewenangan dan terbukti melawan hukum.

"Setiap menyalahgunakan wewenang maka telah memenuhi unsur melawan hukum," ujar Hakim Anggota Sri Hartati.

Terkait faktor meringankan, kedua terdakwa bersikap sopan sepanjang persidangan dan belum pernah dihukum di kasus apapun. Keduanya divonis melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Vonis terhadap Budi dan Taufik sama seperti tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Sebelumnya, kasus korupsi impor baja terkait dugaan adanya pemanfaatan program Pembangunan Strategis Nasional (PSN). Pemanfaatan program PSN dalam impor baja, dan besi tersebut dinilai merugikan negara, dan perekonomian negara.

Impor baja dan besi tersebut dilakukan dengan modus operandi suap dan gratifikasi lewat pemanfaatan izin impor yang melebihi batas atas barang masuk oleh swasta. Modus dilakukan oleh swasta kepada sejumlah penyelenggara negara di tiga kementerian.

Selain diduga dilakukan di lingkungan Kemendag, modus tersebut juga disinyalir terjadi di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan di Bea Cukai-Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dalam penyidikan korupsi impor baja dan besi tersebut, penyidikan Jampidsus, sudah pernah melakukan penggeledahan, dan penyitaan alat-alat bukti, dan uang jutaan rupiah, di kantor Kemendag, dan Kemenperin, serta di beberapa perusahaan importir komoditas keras tersebut.

Sementara itu Tim kuasa hukum terdakwa Budi Hartono Linardi, Astono Gultom menyayangkan keputusan majelis hakim  terhadap kliennya yang telah menghukum 12 tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi impor besi atau baja dan turunannya karena terbukti melangar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999.

"Penerapan sangkaan pidana korupsi yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 adalah keliru dan tidak tepat," ujar Astono Gultom kepada wartawan di Jakarta, Selasa (28/3/2023).  

Menurutnya penerapan pasal dimaksud hanyalah sebagai jembatan untuk menjerat enam perusahaan importir besi beserta turunannya yang berkas perkaranya secara korporasi telah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta.

"Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, bahwa kerugian keuangan negara itu tidak terbukti. Bahkan di dalam putusan, hakim di dalam memberikan pertimbangan terkait kerugian keuangan negara hanya berdasarkan adanya hasil audit perhitungan dari BPK, tidak menjelaskan di bagian apanya atau perbuatan apa yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara, faktanya di dalam persidangan kewajiban 6 importir ini sudah dibayar lunas pada saat barang dikeluarkan dari kepabeanan keluar ke gudang dari para importir ini," tegasnya.

Gultom menjelaskan kliennya telah memberikan bukti seluruh pembayaran atas 6 importir tersebut senilai Rp540 miliar yang dibayarkan kepada kas negara.

Anehnya, majelis dalam pertimbangan hukumnya terkait kerugian keuangan negara tidak membuat atau tidak menjadikan bukti tersebut menjadi pertimbangan, dimana bukti yang diberikan berupa bukti pembayaran kepada negara juga telah dikonfirmasi kepada bea dan cukai bahwa seluruh hak-hak negara telah dibayar seluruhnya sebelum barang tersebut dikeluarkan.

"Nah di dalam persidangan juga, ada 3 terdakwa dalam perkara ini, satu Tahan Banurea (ASN Kemendag), yang kedua adalah dari swasta yaitu klien kami Hartono Linadri dan Taufik. Namun di dalam putusannya, majelis hakim membebaskan terdakwa Tahan Banurea karena dianggap tidak memiliki peran, tidak memiliki kewenangan di dalam perkara," ujarnya.

Menurutnya, adalah suatu kejanggalan hukum jika kliennya sebagai swasta dinyatakan turut serta melakukan tindak pidana korupsi dengan ASN, namun pihak ASNnya (Tahan Banurea) divonis bebas.

"ASN atau pejabat yang mana, yang lucu adalah dalam pertimbangannya klien kami dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum di dalam pengurusan surat penjelasan sebagai pengecualian izin impor adalah dengan Wira Chandra. Sementara Wira Chandra sendiri sudah lama meninggal, tidak dapat lagi dimintai konfirmasi," ujarnya. (Adji)
 

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT