“Ojo dumeh adalah filter agar tidak berperilaku berlebihan. Mengajak bersikap santun, beretika dan beradab. Tidak menganggap orang lain lebih rendah, pihak atau kelompok lain lebih lemah, tidak memiliki dukungan dan kekuatan massa.”
-Harmoko-
Politik adu domba dalam kampanye pemilu tidak dibenarkan, tetapi kita acap menyaksikan. Begitupun saling memfitnah, saling menyakiti dan menjatuhkan demi meraih kemenangan yang seharusnya ditinggalkan, tetapi kadang terabaikan.
Diyakini, elite politik, kandidat yang berkompetisi bukannya tidak paham betul soal etika politik. Bukannya tidak tahu mana yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Tetapi , boleh jadi karena situasi yang membuatnya lepas kendali dalam bernarasi.
Yang sering kita saksikan kemudian, saling olok, saling ejek, memaki dan menghakimi tetap mewarnai setiap gelaran pemilu.
Kita tidak perlu mencari tahu siapa yang memulai, karena kita pun tidak tahu pasti siapa yang akan mengakhiri, kecuali waktu yang akan berlalu, seiring berlalunya pemilu dengan memunculkan kekuasaan baru.
Tampilnya kekuasaan baru, bisa dengan wajah baru atau wajah lama, dengan power sharingnya, lazimnya akan mendamaikan kelompok yang selama ini berseteru.
Menjadi pertanyaan, apakah saling fitnah, saling adu domba dan saling menjatuhkan akan terhenti dengan sendirinya, usai pemilu, setelah bagi – bagi kekuasaan? Jawabnya bisa demikian bagi para elite politik, tetapi tidak bagi akar rumput, simpatisan.
Bisa jadi, terdapat situasi yang kontradiktif. Di satu sisi, para elite yang sebelumnya saling olok, sudah berangkulan, di sisi lain tergambar bagi sebagian akar rumput masih tidak saling tegur sapa antar- tetangga.
Apapun alasannya, saling adu domba, saling fitnah dan menjatuhkan, dan saling sosok menyogok, adalah praktik politik yang tidak sehat.
Haruskah kita mewariskan politik kebencian kepada generasi penerus. Mengajarkan politik saling hasut dan hisap, dimana yang kuat memangsa yang lemah, setidaknya memaksa dan memperdaya yang lemah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Janganlah karena merasa besar dan kuat lantas sombong dan semena – mena dalam memenangkan kompetisi. Lebih – lebih jika sampai menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan, yang jelas – jelas sangat bertentangan dengan alam demokrasi kita.
Tetaplah berpolitik dengan santun, beretika, beradab dan bermoral seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dalam filosofi Jawa juga diajarkan agar kita tidak pongah dikenal dengan istilah "ojo dumeh". Ojo = jangan. Dumeh= mentang -mentang. Ajakan untuk selalu introspeksi diri ketika seseorang sudah dihinggapi sifat "dumeh" karena telah menyandang sejumlah predikat baik harta benda, pangkat, jabatan, kedudukan dan kekuasaan.
Yang ingin ditanamkan adalah nilai kepedulian diri terhadap sesama manusia, lingkungan sekitar dan tanggung jawabnya kepada Sang Pencipta yang telah memberikan beragam predikat tadi.
Ojo dumeh adalah filter agar tidak berperilaku berlebihan. Mengajak bersikap santun, beretika dan beradab. Tidak menganggap orang lain lebih rendah, pihak atau kelompok lain lebih lemah, tidak memiliki dukungan dan kekuatan massa.
Menerapkan filosofi ojo dumeh berarti senantiasa menempatkan orang lain untuk dihargai dan dihormati apapun status sosial ekonominya. Menganggap orang lain pada posisi yang sangat manusiawi sebagaimana ajaran luhur seperti tercermin dalam jati diri bangsa kita, dalam falsafah bangsa kita.
Menghargai hak politiknya, sikap politiknya, dan pilihan politiknya, termasuk menghargai dukungan seseorang terhadap parpol, capres –cawapres yang menjadi pilihannya.
Begitu juga menghargai sikap politik, pilihan politik setiap parpol terhadap bakal capres – cawapresnya, kandidat calon kepala daerahnya.
Menghargai berarti tidak ikut mencampuri, tidak ngrecoki, tidak pula menggagalkan pilihan orang lain. Tidak pula melanggar hak asasi karena memaksakan kehendak kandidatnya kepada kelompok atau parpol lain.
Menghargai hak asasi, bukan mengorbankan orang lain karena posisinya. Bukan memanfaatkan kelemahan pihak lain guna kemenangan dan keuntungan diri sendiri, termasuk dalam kontestasi politik, guna memenangkan pemilu dengan tujuan kekuasaan semata.
Kebesaran, kehebatan dan kekuasaan yang dimiliki adalah anugerah yang patut disyukuri, bukan diselewengkan untuk melemahkan atau mengorbankan pihak lain. (Azisoko).