“Semakin tinggi prestasi, kian tinggi elektabilitasnya sebagai bakal capres, hendaknya semakin rendah hati. Itulah tokoh panutan yang dibutuhkan di era sekarang dan mendatang”
-Harmoko-
PAMER keberhasilan dan prestasi bukan hal baru dan tabu dalam dunia politik pencitraan di level manapun, lebih – lebih menghadapi hajatan pilpres dan pilkada. Kita mencermati, pamer prestasi mulai digulirkan. Ini tidak bisa ditutupi, mengingat publik dengan cerdas sudah mencium aroma “keharuman” yang hendak ditebarkan kemana arah dan tujuan.
Keberhasilan, layaknya, akan dipamerkan calon petahana (incumbent) guna mendongkrak kembali tingkat keterpilihan. Mengkritisi kebijakan dengan segala kekurangan yang menyertainya, akan dikemas oleh pesaingnya sebagai visi dan misi, sekaligus solusi yang ditawarkan (problem solving) untuk mengalahkan petahana.
Pada pilpres 2024, dapat dipastikan tak ada lagi petahana. Semuanya pendatang baru, mesti tidak menutup kemungkinan adanya tokoh lama yang mencalonkan atau kembali dicalonkan oleh parpol pengusungnya.
Tebar pesona dengan memamerkan keberhasilan sangat memungkinkan bagi mereka yang sedang memegang jabatan dan kekuasaan sebagai menteri, gubernur atau kepala institusi/lembaga negara lainnya.
Yang tidak memegang jabatan atau memiliki kekuasaan, sementara hanya bisa gigit jari, sulit berharap meningkat elektabilitasnya baik sebagai bakal capres ataupun kepala daerah.
Sayangnya tidak semua tokoh yang menjabat memiliki kemampuan untuk pamer keberhasilan. Selain, memang tidak cukup memiliki prestasi, jauh dari harapan rakyat, tidak punya prestasi yang patut dibanggakan, ditunjang lagi tidak memiliki kemampuan mengemas sebuah prestasi.
Soft campaign yang dikumandangkan pun acap masih menuai keraguan sementara kalangan. Bagi yang cerdas dan berkualitas, peluang mengukir prestasi yang terbuka lebar akan terus dikejar dengan mengubah keraguan menjadi kepercayaan.
Hanya saja, jalan buntu kadang tiada berlalu hingga jalan pintas pun diterabas meski tidaklah pantas, tidak selaras dengan jati diri bangsa, tak sejalan dengan demokrasi Pancasila yang kita anut.
Yang hendak saya katakan janganlah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dengan menebar kepalsuan dan pembohongan. Jangan bawa tujuan politik menjadi pertarungan sesat dan tidak sehat yang hanya berkutat kepada kampanye negatif.
Hindari black campaign dengan memainkan segala macam isu mulai dari hal pribadi hingga bisnis kekuasaan untuk menggerus popularitas dan elektabilitas lawan. Ini yang perlu dicegah, mengingat kampanye hitam yang bersumber dari rumor dan gosip itu, cenderung sulit diverifikasi ataupun diperdebatkan hingga berujung kepada saling salah menyalahkan.
Etika politik harus tetap dijaga marwahnya guna mencegah pamer keberhasilan menjadi saling menjelekan. Uji prestasi menjadi saling mengebiri dan membenci.
Ingat jika para elite dan penguasa sudah bertikai, kerapuhan akan didapatkan, rakyat pada akhirnya yang menjadi korban. Perpecahan di akar rumput pun menjadi ancaman.
Saatnya saling mengingatkan, silakan menebar pesona dengan memamerkan keberhasilan untuk mengungkap kebenaran, sesuai fakta, bukan mengada – ada. Silakan berlomba mengukir prestasi guna meraih simpati, bukan memunculkan kontroversi.
Rakyat semakin cerdas menilai mana bakal capres yang memiliki segudang prestasi, dengan hanya pandai mengumbar janji. Mana yang meragukan dan dapat diandalkan.
Piturur luhur mengajarkan hendaknya meneladani perlambang tanaman padi yang kian berisi semakin merunduk. Semakin tinggi prestasi, kian tinggi elektabilitasnya sebagai bakal capres, hendaknya semakin rendah hati. Itulah tokoh panutan yang dibutuhkan di era sekarang dan mendatang seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Rendah hati berarti tidak sombong, tidak angkuh, tidak merasa dirinya lebih hebat dari yang lain. Tidak pula memamerkan kehebatannya kepada orang lain berharap semakin mendapatkan pengakuan tentang kehebatannya.
Filosofi Jawa pun mengajarkan "Ojo rumongso biso,nanging dadio kang biso rumangsa” - jangan merasa bisa, tetapi jadilah bisa merasakan atas kemampuan orang di sekitar kita. Nasihat ini meminta kita untuk bisa menempatkan diri, tahu diri dan selalu rendah hati guna memperoleh derajat lebih tinggi lagi.
Perlu mengubah perilaku dari merasa memiliki banyak kelebihan menjadi mengakui segala kekurangan. Dari sebelumnya cenderung menyalahkan menjadi memahami kesalahan diri sendiri. Dari suka membual, lebih banyak mendengar. Dari semula rajin mengkritik pihak lain, menjadi ingin lebih dikritik. Mari mulai. Bismillah. (Azisoko)