JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan norma ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), yang dimohonkan DPR RI dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengaku heran dan tidak paham dengan cara berpikir MK.
"Saya tidak paham cara berpikir Mahkamah Konstitusi yang keukeuh menolak presidential threshold," ujar Refly Harun dalam kanal Youtube pribadinya, Sabtu (9/7/22).
Refly Harun mengatakan, terhitung sudah sebanyak 28 kali norma presidential threshold yang diatur di dalam Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu menjadi materi gugatan.
Namun dilihat Refly, beberapa waktu lalu terdapat dissenting opinion atau pendapat yang berbeda disampaikan 4 Hakim Konstitusi, di antaranya Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Manahan MP Sitompul.
Kendati demikian, Refly memandang dari dissenting opinion tersebut, ada persoalan di tubuh MK dalam memutus perkara yang seharusnya bisa dipertimbangkan lebih mendalam.
"Kita berhak untuk mengkritik MK dan Hakim MK. Kita tidak bicara tindakan pribadi, tapi bicara tindakan lembaga negara yang dibiayai oleh pubilk, harusnya defending people right, bukan defending oligarchy right, atau defending oligarch interest atau defending elite interest," ucap Refly.
Oleh karena itu, Refly kecewa dengan MK. Sebab, jika cara berpikir MK begitu, maka gugatan peghapusan presidential threshold tidak akan pernah dikabulkan.
"Kecuali semua hakim konstitusi diganti," katanya.
Terlepas dari itu, Refly menilai pendapat MK yang menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 konstitusionalitas bertentangan dengan realita yang terjadi di lapangan.
Bahkan, Refly memberikan salah satu contohnya, yakni soal peranan parpol dalam menyuguhkan calon pemimpin.
"Ini (putusan MK) bullshit (omoong kosong). Parpol disuruh memunculkan pemimpin-pemimpin bangsa, tapi slot untuk mencalonkan presiden dibatasi. Nggak masuk akal," sindirnya.
Oleh sebab itu, ia pun memandang pemberlakuan presidential threshold yang mensyaratkan parpol memenuhi minimal 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara nasional pada pemilu sebelumnya menimbulkan dampak yang signifikan bagi pembangunan demokrasi di Indonesia.
"MK menyumbang bagi polarisasi di masyarakat dan terbelenggunya parpol. Salah satu fungsi parpol adalah kaderisasi politik, memunculkan pemimpin-pemimpin bangsa. Dari sini saja cara berpikir MK tidak konsisten," pungkas Refly. (aldi)