Parpol melalui kadernya di akar rumput hendaknya mampu menyerap capres pilihan rakyat. Pemimpin seperti apa yang dibutuhkan sekarang dan masa mendatang
-Harmoko-
GENDERANG koalisi sudah ditabuh menyongsong pilpres yang kurang dari dua tahun lagi. Partai Golkar, PAN dan PPP mulai membangun kekuatan dengan membentuk Koalisi Indonesia Bersatu untuk mengusung pasangan capres – cawapres pada pilpres 2024 mendatang.
Dengan perolehan kursi Golkar di DPR sebanyak 85, PAN 44 dan PPP 19, maka totalnya menjadi 148 kursi, yang berarti lolos ambang batas pencalonan pasangan capres – cawapres sebanyak 115 sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Apakah ini terlalu dini? Jawabnya tentu akan beragam sesuai dengan sudut pandang. Tetapi, ini adalah momen menampilkan diri untuk melakukan manuver politik di tengah masih adanya ketidakpastian. Termasuk kesadaran diri dari para elite politik parpol tersebut koalisi bukanlah harga mati. Situasi masih dapat berubah.
Koalisi adalah sebuah penjajakan untuk mencari kecocokan. Bagaikan “pacaran” sedang berupaya saling melengkapi guna membangun kekuatan dan kebersamaan sebelum sampai pelaminan. Boleh jadi akan terus langgeng, dan bahkan bertambah gerbong.
Saya meyakini mencari kecocokan juga sedang dilakukan oleh parpol lain, baik secara terselubung maupun terang - terangan. Safari politik para pimpinan parpol, bagian dari upaya mencari kecocokan. Menimbang untung ruginya, seberapa besar peluangnya untuk memenangkan persaingan, tak hanya di ajang pilpres, juga pileg dan pilkada serentak.
Meski bursa calon presiden sudah bermunculan, tetapi belum satupun parpol yang mendeklarasikan dengan mengusung sebuah nama pilihan yang hendak dimajukan. Radar memang sudah diarahkan, tetapi tetap saja belum final karena sebagian besar parpol tidak bisa jalan sendiri mengusung capresnya, kecuali PDI- Perjuangan yang hingga kini, juga masih melihat situasi.
Baru – baru ini sinyal dukungan telah telah diperlihatkan oleh Jokowi kepada kader PDIP, yang juga Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, ketika menghadiri pertemuan Rakernas Pro Jokowi (Projo) di Balai Perekonomian Desa (Balkondes) Ngagopondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/5/2022).
Meski tidak menyebut nama secara langsung, tetapi isyarat tertangkap jelas. Tetapi lagi – lagi, ini belum final, masih lempar balon, test the water, strategi andalan beliau, seperti halnya dukungan 3 periode oleh para kepala
desa dan lainnya. Selain pencapresan masih harus melalui beberapa tahapan, Jokowi sendiri bukanlah ketum parpol berkuasa yang memiliki legalitas merestui capres bersangkutan.
Alur pencapresan memang harus kita lalui, masih sekitar 20 bulan lagi, tepatnya, Rabu Legi, 14 Februari 2024, pencoblosan dilakukan, tetapi tidak lantas persiapan terabaikan. Persiapan yang matang diperlukan untuk menghindari sikap grusa- grusu, apalagi ini menyangkut masa depan rakyat Indonesia, kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Rakyat berharap parpol mengusung capres berkualitas yang mampu mempersatukan bangsa dan mampu menyelesaikan permasalahan bangsa ke depan yang semakin berat, bukan sebatas pertimbangan popularitas dan elektabilitas.
Ingat popularitas dan elektabilitas bisa didongkrak, tetapi kualitas dan integritas moral tidak bisa begitu saja dipoles karena menyatu dalam diri pada seorang tokoh yang memang mumpuni. Di sinilah parpol melalui kadernya di akar rumput perlu menyerap denyut nadi masyarakat, capres seperti apa yang diharapkan.
Pemimpin bagaimana yang dibutuhkan saat sekarang dan mendatang, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Sah – sah saja dengan jargon demi rakyat, para elite politik saling memetakan, melobi untuk bisa koalisi supaya bisa saling melawan dan mengalahkan demi kekuasaan. Dengan harapan, kekuasaan nantinya untuk rakyat, bukan dirinya, kelompoknya, koleganya, termasuk tim suksesnya.
Jangan sampai, selalu terdengar perjuangan untuk rakyat, pembangunan buat rakyat, kesejahteraan, kemakmuran dan lainnya semua untuk rakyat. Tapi lain yang dikata, lain yang nyata.
Jangan sampai pula para politisi berkoalisi membangun kekuatan memenangkan pertarungan, tapi rakyat terabaikan, dibiarkan menanti tak pernah menikmati. Kesejahteraan hanya melintas di depan mata tak pernah dirasakan apalagi dinikmati, semoga semua ini tidak akan terjadi lagi.
Itulah perlunya sikap hati – hati, cerdas dan cermat berkoalisi mengusung capres pilihan rakyat. Pitutur luhur mengajarkan, “ Ojo kesusu, ojo grusa – grusu, ojo melu – melu”- Jangan tergesa – gesa, jangan gegabah dan jangan ikut – ikutan.
Tergesa - gesa akan membawa dampak buruk dan menimbulkan penyesalan. Gegabah akan dapat mendatangkan kekeliruan. Sedangkan ikut-ikutan akan mendatangkan kerugian dan kekecewaan. Mengingat sikap “melu- melu” menandakan tidak memiliki prinsip yang jelas dan tegas. Tidak memiliki karakter bagaimana membangun negeri tercinta sebagaimana jati diri bangsa. (Azisoko*)