JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Ombudsman Republik Indonesia membeberkan sejumlag dugaan penyebab kelangkaan minyak goreng di pasaran berdasarkan hasil investigasi dan Analisa.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, terdapat perbedaan data akan kebutuhan minyak goreng dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dengan realisasinya.
Diketahui, sebelumnya Kementerian Perdagangan mengklaim berhasil mendistribusikan minyak goreng curah dan kemasan sebanyak 415.787 ton ke masyarakat.
Distribusi minyak itu melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi minyak goreng satu bulan yang hanya mencapai 327.321 ton.
Namun, realisasinya minyak goreng masih langka di pasaran.
Kendati demikian, Yeka mengatakan hal tersebut bisa saja terjadi karena perbedaan data DMO dengan realisasinya.
“Realisasi DMO hanya akan terkonfirmasi dengan data yang seharusnya dikumpulkan dari distributor,” kata Yeka dalam konferensi pers secara virtual pada Selasa 15 Maret 2022.
Kedua, Ombudsman menduga pelaksanaan DMO tanpa diikuti dengan memasangkan antara eksportir crude palm oil (CPO) atau olahannya dengan produsen minyak goreng.
Selain itu, tidak semua produsen minyak goreng mendapatkan CPO DMO dengan harga domestic market obligation (DPO).
“Tidak semua produsen minyak goreng berorientasi ekspor. Sehingga kapasitas produksi minyak goreng diduga mengalami penurunan, untuk menghindari kerugian,” jelas Yeka.
Ketiga, masih terdapat panic buying dalam membeli minyak.
“Panic buying yang dilakukan Rumah Tangga atau pelaku UMKM meningkatkan stok minyak goreng, sebagai respon terhadap belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng, terlebih lagi menghadapi puasa dan hari raya,” kata Yeka.
Keempat, munculnya spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara harga eceran tertinggi (HET) dengan harga di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi.
"Aktifitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng," kata Yeka.
Kelima, Ombudsman menduga kelangkaan minyak goreng diduga terjadi karena gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan.
Menurut Yeka, Fungsi pengawasan tidak akan berhasil diterapkan ketika disparitas harga terjadi dengan gap yang sangat besar.
Melihat kondisi kelangkaan pada minyak goreng, Ombudsman memberikan rekomendasi agar kelangkaan minyak tersebut dapat teratasi dengan menghilangkan disparitas harga DPO, HET, dan harga pasar.
Sebagai gantinya, kata Yeka, dengan cara melepaskan harga kembali ke mekanisme pasar.
Meskipun melepaskan harga pada mekanisme pasar, kata Yeka, tetap memberlakukan domestic market obligation (DMO).
Hal tersebut guna menjamin ketersediaan minyak goreng.
Selain itu, mengusul pemerintah agar mencabut harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang saat ini untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium masing-masing seharga Rp13 ribu/liter dan Rp14 ribu/liter.
Namun, Yeka meminta pemerintah masih tetap memberlakukan HET hanya untuk minyak goreng curah yang dengan seharga Rp11 ribu/liter.
Hal tersebut agar masyarakat memengah kebawah hingga pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) masih mendapatkan minyak goreng dengan harga tersebut.
“HET untuk minyak goreng curah, minyak premium dan sederhana dilepas saja tidak apa-apa ke pasar, itu ada pasarnya kelompok menengah atas ada daya belinya membeli. Namun curah harus tetap pakai HET karena banyak dibeli masyarakat kelas bawah," jelas Yeka.
Selain itu, Yeka memberikan opsi kedua, yaitu perlindungan kelompok rentan dari mahalnya harga minyak dengan memberi bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat untuk membeli minyak goreng.
Opsi yang satu ini membiarkan minyak goreng baik curah maupun kemasan harganya mengikuti pasar tanpa HET.
"Opsi kedua melepas semua jenis minyak goreng ke mekanisme pasar, baik curah dan kemasan. Namun, pemerintah fokus melayani masyarakat yang rentan dengan kemahalan yaitu masyarakat miskin dan pelaku UMKM diberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk beli minyak goreng dan kebutuhan pokok," kata Yeka.
Agar Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN), kata Yeka, pemerintah dapat meningkatkan pajak dan levy ekspor produk CPO, seperti RBD Palm Olein, RBD Palm Oil, RBD Palm Stearin dan PFAD.
Saat ini, kata Yeka, pungutan ekspor produk turunan CPO ini lebih rendah dibandingkan pajak ekspor CPO itu sendiri, padahal jumlah ekspor turunan CPO juga tak sedikit.
“Pelaksanaan HET itu memerlukan regulasi ketat dan mekanisme dan prosedur tertata. Tapi ini justru itu enggak ada. Kalo itu enggak mau ribet semua lepas ke mekanisme pasar. Nah pemerintah fokus ke kelompok rentan lewat bantuan langsung tunai," kata Yeka. (cr05)