Kopi Pagi

IKN, Ojo Kesusu!

Senin 07 Feb 2022, 06:30 WIB

“Setiap aspirasi baik yang mendukung setuju maupun yang tidak setuju, hendaknya disikapi secara bijak. Jangan memberi stigma yang tidak setuju disebut anti, yang mendukung disebut pro “ - Harmoko

JIKA diminta memilih mana yang lebih dibutuhkan sekarang: Sembako melimpah dengan  harga murah  atau  Ibu Kota Negara (IKN) segera pindah?

Sepertinya masyarakat akan memilih sembako tersedia sangat melimpah dengan harga murah, ditambah lagi mencari pekerjaan lebih mudah, aktivitas ekonomi lebih leluasa, tidak terkendala  dengan pembatasan-pembatasan akibat pandemi Covid-19.

Begitu juga jika ditanyakan butuh ekonomi pulih lebih dulu atau IKN baru? Boleh jadi jawabnya pemulihan ekonomi lebih menjadi prioritas untuk mendongkrak daya beli masyarakat, menopang meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Jadi bukan masalah setuju dan tidak setuju pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Lebih – lebih lembaga legislatif, DPR sebagai representasi rakyat sudah ketok palu tanda setuju secara legal formal dengan disahkannya RUU IKN menjadi undang-undang tentang pemindahan IKN dari DKI Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Yang jadi soal adalah sudahkah tepat waktu memindahkan  IKN di tengah kehidupan masyarakat masih terbebani pandemi Covid-19. Di tengah kasus Omicron yang sedang melonjak tajam. Di tengah kondisi keuangan negara yang berat akibat belum sepenuhnya ekonomi kembali pulih setelah dua tahun belakangan terdampak pandemi.

Sejumlah pihak berpendapat pemindahan IKN tidak begitu esensial, apalagi dalam kondisi ekonomi sekarang ini.

Jika dipaksakan akan membebani rakyat. Pemindahan ibu kota negara tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu waktu yang panjang, bisa puluhan tahun. Di sisi lain, akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan ini akan menggerogoti APBN.

Total anggaran untuk memindahkan IKN sekitar Rp 486 triliun, dan 54 persennya akan dipenuhi menggunakan skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) seperti disebutkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Di awal proses pemindahan, tahun 2022 ini digelontorkan anggaran sekitar Rp 178 triliun yang berasal dari dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggaran PEN totalnya mencapai Rp455,63 triliun. Artinya program pemindahan IKN bagian dari PEN, padahal keduanya sangat berbeda. Ini pula yang menimbulkan kontroversi, mengingat sebelumnya pemerintah mengatakan pemindahan IKN tidak akan membebani APBN.

Tetapi yang terjadi, tak hanya membebani APBN, juga mengurangi, diistilahkan “mencatut” anggaran untuk pemulihan ekonomi, dana yang semestinya dialokasikan untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan  kemampuan ekonomi para pelaku usaha, sektor riil, sektor keuangan dalam menjalankan usahanya.

Apalagi anggaran PEN tahun 2022 sudah turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 744,77 triliun, masih dikurangi lagi untuk IKN.

Kalau dikatakan pemindahan IKN dengan membangun infrastruktur dasar sebagai bagian dari program PEN, itu sah – sah saja, tetapi yang  hendak saya katakan, tetap saja akan membebani APBN.

Berubahnya skema pembiayaan, menyisir anggaran PEN untuk IKN, menjadi indikasi bahwa proyek yang sangat besar, tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang. Seakan hanya mengandalkan "wisik". Belum lagi cepatnya pembahasan RUU IKN untuk menjadi UU IKN yang hanya memakan waktu 42 hari, terkesan mengejar target.

Ini tak sejalan dengan pernyataan pemerintah bahwa proyek IKN bukan semata kejar target, bukan asal jadi, bukan meniru cara Bandung Bondowoso.

Jika kemudian muncul kontroversi itulah sejatinya aspirasi. Aspirasi apapun  bentuknya, dari manapun datangnya hendaknya disikapi secara bijak. Dengan memahami aspirasi, akan mengetahui secara persis apa yang sedang dan akan terjadi di negeri ini, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Yang perlu disikapi, jangan kemudian memposisikan bahwa yang mendukung setuju disebut “pro” yang tidak setuju dikatakan “anti” pemerintah. Jika stigma ini yang dibangun tak ubahnya membangun komunikasi kontradiksi, bukan harmonisasi, sebuah situasi yang sangat dibutuhkan sekarang ini.

Pitutur luhur mengajarkan “ojo grusa – grusu”, “ojo kesusu”, jangan gegabah, jangan terburu – buru karena perbuatan yang tergesa – gesa hasilnya tidak akan sempurna.  Apalagi  kalau “Mung mburu napsu” didasari atas kesenangan semata. (Azisoko*)

Tags:
ibu kota negaraIKNAktivitas  Ekonomipembatasan akibat pandemi Covid-19pemulihan ekonomi menjadi prioritaslembaga legislatifDPRdisahkannya RUU IKNundang-undang tentang pemindahan IKNdki jakartaKabupaten Penajam Paser Utarakalimantan-timur

Administrator

Reporter

Administrator

Editor