ADVERTISEMENT

Wadas yang Waras

Senin, 14 Februari 2022 07:00 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Penegakan hukum yang adil harus diikuti dengan perilaku yang adil dan beradab. Menjauhkan sikap arogansi sektoral, otoriter kekuasaan, dan kesewenang-wenangan. Harmoko

BAGAIKAN “api dalam sekam yang tidak segera dipadamkan”. Itulah gambaran konflik di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah. Penyelesaian masalah selama ini hanya yang berada di atas permukaan, sementara yang berada di bawah, paling mendasar menyangkut sumber kehidupan warga desa, kurang mendapat perhatian, jika tidak disebut terabaikan.

Komunikasi yang dibangun lebih mengedepankan pendekatan prosedural, ketimbang dialog sosial untuk mengurai problema mengapa warga menolak. Kemudian mencarikan solusinya.

Dengan pendekatan prosedural, maka apapun yang terjadi, Bendungan Bener sebagai proyek strategis nasional dengan investasi Rp2,06 triliun harus jalan.

Warga masyarakat yang terkena pembebasan proyek bendungan, diminta rela melepaskan haknya demi memajukan dan masa depan bangsa dan negara.

Lantas bagaimana masa depan warga Desa Wadas yang terdampak proyek? Haruskah terlupakan? Jawabnya tentu saja tidak demikian. Harkat dan martabatnya harus tetap diperhatikan, bukan dikorbankan dengan alasan pembangunan.

Warga Desa Wadas pun tidak keberatan dengan pembangunan Bendungan Bener. Monggo mawon, tapi jangan menambang di desanya yang akan menghancurkan sumber penghidupannya.

Sekitar 145 hektar yang mencakup 500-an bidang tanah terancam hilang terdampak proyek tambang andesit guna memasok material pembangunan bendungan. Ini akan berakibat rusaknya 28 sumber mata air warga desa, yang lebih lanjut akan merusak lahan pertanian dan lingkungan. Lebih – lebih Kecamatan Bener, termasuk Desa Wadas tergolong rawan longsor.  Lagi-lagi pembangunan tanpa perencanaan yang matang.

Sejumlah literatur menyebutkan tahun 1998, pernah terjadi longsor usai hujan deras, konon, menewaskan 8 orang. Masyarakat secara swadaya mengantisipasi dengan menghijaukan lereng-lereng, sistem tanam tumpang sari dikembangkan dengan mengganti tanaman perusak menjadi komoditas penguat tanah, sekaligus menghasilkan.

Mitigasi bencana yang dikaitkan dengan sumber penghidupan dilakukan secara mandiri. Hasilnya, sejak itu, tak pernah lagi longsor. Masyarakat dapat menghidupi dirinya dari alam sekitar yang dirawat, dilestarikannya.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Berita Terkait
2 tahun yang lalu
2 tahun yang lalu
2 tahun yang lalu
2 tahun yang lalu
2 tahun yang lalu

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT