ADVERTISEMENT

'Pasukan Siber' Dinilai Ancam Demokrasi, PKS: Kominfo Harus Bisa Memerankan Fungsi Komunikasinya

Kamis, 4 November 2021 09:41 WIB

Share
Cyber dimanfaatkan dalam pembangunan. (Foto: Poskota/Rizal Siregar)
Cyber dimanfaatkan dalam pembangunan. (Foto: Poskota/Rizal Siregar)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Penelitian LP3ES, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia, Drone Emprit; University of Amsterdam dan KITLV Leiden yang dipublikasikan pada 2021 menemukan bahwa pasukan siber (cyber troop) berperan dalam memanipulasi persepsi publik dalam sejumlah narasi kebijakan pemerintah. Hal ini dinilai dapat mengancam demokrasi.

Terkait itu, Anggota Komisi I DPR Sukamta mengingatkan peran pemerintah dalam menghadapi pasukan siber ini. 

"Pasukan siber ini memanfaatkan ke-anonim-an yang sangat dimungkinkan di internet. Akun-akun fiktif di media sosial bisa dibuat dan susah dilacak serta divalidasi identitasnya," katanya, Kamis (4/11/2021).

Ia mengatakan,  Ini realitas yang tidak bisa dihindari. Sayangnya, yang disebarkan oleh pasukan siber itu justru disinformasi.

"Di sinilah peran pentingnya diseminasi informasi yang benar sebagai kontra narasi," katanya.

Wakil Ketua Fraksi PKS ini menjelaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo sebagai Humas harus bisa memerankan fungsi komunikasinya dengan baik dan transparan, harus seimbang dengan peran informatikanya.

Kominfo harus bisa mengomunikasikan kebijakan publik ke masyarakat luas. Jangan sampai komunikasi publik yang buruk memunculkan dugaan-dugaan di benak masyarakat yang pada akhirnya masyarakat punya kesimpulan sendiri, yang sering kali menjadi hoax. 

"Lantas pemerintah menindak masyarakat yang dianggap penyebar hoax tadi, padahal bisa jadi sumber hoax adalah pemerintah sendiri yang disebabkan komunikasi publik yang buruk," ucapnya.

Karenanya, kata doktor lulusan Inggris ini, Kominfo harus hadir melakukan kontra narasi, bukan justeru menggunakan anggaran negara untuk membuat buzzer untuk menyebarkan disinformasi tadi. 

"Atau misalnya dengan merekrut influencer berbiaya tinggi untuk membentuk opini masyarakat dalam hal politik, ini tidak etis. Anggaran yang digunakan cukup besar, sehingga harus berhati-hati agar tidak terjadi pemborosan anggaran," ucapnya.

Halaman

ADVERTISEMENT

Reporter: Rizal Siregar
Editor: Yulian Saputra
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT