TANGERANG, POSKOTA.CO.ID - Pelabelan hoax yang disematkan oleh Polres Kota Tangerang terhadap berita di dua media online mendapat kecaman dari organisasi Jurnalis.
Label hoax itu berkaitan dengan pemberitaan tentang aksi yang dilakukan puluhan mahasiswa ke Polres Kota Tangerang pada Jumat (15/10/2021).
Label hoax tersebut dinilai merupakan bentuk kesemena-menaan aparat terhadap jurnalis. Pasalnya, tindakan itu tidak telebih dahulu melalui Undang-undang Pers.
Anggota Bidang Advokasi dan Ketenagakerjaan untuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Muhammad Iqbal mengatakan tindakan tersebut sama saja dengan melecehkan profesi Jurnalis. Kemudian, bentuk intimidasi terhadap kerja-kerja jurnalistik.
"Jadi harusnya sikap Polres seperti itu tidak terulang, dan kepolisian harus bersikap tegas jangan hanya minta maaf saja. Dalam hal ini Polda Banten harus menindak tegas upaya polisi dalam melabeli hoax itu," ujarnya dalam diskusi Fraksi Teras yang diadakan oleh Solusi Movement dengan tema Main Hakim Polisi Melebeli Media Hoax, Kamis, (21/10/2021).
Dalam diskusi ini, selain perwakilan AJI Jakarta turut hadir Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Tangerang Abdul Majid, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Harian Tangerang Raya (WHTR) Bagus dan Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Tangerang Raya Faisal R Syam.
Acara itu juga dihadiri Pengamat Kebijakan Publik dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro.
Pihak Solusi Movement telah mengundang Kapolres Kota Tangerang Wahyu Sri Bintoro namun dia tak hadir.
Tonton juga video "Markas Pinjol di Kelapa Gading Digerebek, Kerap Tagih Utang Nasabah dengan Gambar Porno". (youtube/poskota tv)
Iqbal mengatakan tindakan label hoax sudah menyalahi Undang-undang Pers. Iqbal menjelaskan selain label hoaks, tindakan represif lainnya juga kerap didapatkan oleh para jurnalis ketika menjalankan tugasnya.
Oleh sebab itu, dia meminta Jurnalis harus menyatukan kekuatan untuk melawan tindakan yang bersifat menghalang-halangi kerja Jurnalistik.
"Jangan sungkan kita bersuara. Kita dari AJI siap advokasi siapapun yang bermasalah dengan karya dan konten mereka. Selagi konten mereka benar dan tidak salah dan tetap pada jalur jurnalistik," jelasnya.
Hal senada diungkapkan oleh ketua Pokja WTHR Tangerang Raya, Bagus. Dia berharap semua wartawan Tangerang harus bersatu bila ada rekan seprofesinya mendapat intimidasi saat meliput. Tanpa melihat latar belakang organisasinya.
"Saya sangat mengecam. Profesi kita memang harus rapatkan barisan, jangan sampai ada kejadian seperi ini kita hanya melihat, karena suatu saat itu bisa terjadi sama kita," tegas Bagus.
Ketua PWI Kota Tangerang, Abdul Majid mengatakan, insan pers sebagai agen penangkal hoax dengan disiplin ilmunya, pastinya menyepakati hoax adalah musuh bersama. Menurut Majid, pemberitaan dua media yakni Republika.co.id dan Kabar6.com yang mendapatkan label hoaks tersebut merupakan media yang kredibilitas.
"Perusahaan media ini bisa dipertanggungjawabkan, sangat tidak mungkin yang diproduksi media tersebut tidak sesuai fakta. Secara lembaga sudah bisa dipertanggungjawabkan," katanya.
"Kalaupun memang memang ada unsur hoaks, sesuai Undang-Undang Pers pihak yang dirugikan mendapatkan ruang untuk memberikan hak jawab," tambahnya.
Majid menuturkan, sebagai insan pers tetap sesuai on the track memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat luas. Agar simbiosis mutualisme ini dapat terjadi antara insan pers dengan masyarakat yang dapat memberikan solusi.
Selain itu insan pers harus dapat menangkal informasi hoax yang beredar. Dia menambahkan, kedepan, hal ini tidak terjadi lagi khususnya di wilayah Kota Tangerang
"Wartawan harus bersatu melawan hoax," tegasnya.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua PFI Tangerang Raya, Faisal R Syam. Kata dia intimidasi terhadap jurnalis foto lebih kepada fisik.
"Kalau pewarta foto lebih ke fisik, penghapusan foto. Itukan tidak benar, tidak boleh memaksa penghapusan foto secara paksa," jelasnya.
Sementara itu pengamat kebijakan publik daei IDP LP, Riko Noviantoro mengatakan jurnalis dan Polri merupakan mitra. Kedua belah pihak memiliki hubungan yang erat dalam hal informasi dan pengendali sosial.
Apalagi dewan pers dan Polri memiliki Nota Kesepahaman (MoU) tentang koordinasi dan pelindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan.
Riko menuturkan dalam MoU tersebut dijelaskan salah satunya yakni apabila terjadi perselisihan terkait pemberitaan seharusnya dapat diselesaikan menurut tata cara Undang-Undang Pers.
Mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab dan koreksi. Hal itu tertuang dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers Pasal 5 ayat 2.
Riko mengamati, Kapolres pun tak ujug-ujug memberikan label hoaks terhadap berita tersebut. Dia menduga ada staf-nya yang memberikan masukan terkait berita itu.
"Kapolres tidak ujug-ujug melakukan itu (label hoaks) pasti ada staf-nya yang kurang paham. Entah Kasubag Humas atau tim komunikasinya," kata dia dalam diskusi.
Oleh sebab itu, dia meminta jajaran Polri cerdas dalam bermedia. Artinya, dapat memahami isi berita serta aturan terkait pers.
"Cerdas bermedia itu harus matang. Mungkin kapolres ketika diberitahu dia langsung ya sudah hoaks saja," tuntasnya. (kontributor/muhammad iqbal)