Karikatur Bung Harmoko. (arif)

Kopi Pagi

Kebijakan Berkelanjutan 

Kamis 06 Mei 2021, 07:00 WIB

Oleh: Harmoko
 
BICARA kemiskinan tidak sebatas menyoal rendahnya tingkat pendapatan masyarakat. Bukan pula sekadar merosotnya tingkat konsumsi akibat melemahnya daya beli.

Rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan dan beberapa aspek lain dalam konteks pembangunan manusia ( human development), menjadi bagian tak terpisahkan dari kemiskinan.

Cakupannya begitu luas, seluas penafsiran mengenai kemiskinan itu sendiri. Tak hanya soal ekonomi, juga dampak sosial budaya, sosial politik dan keamanan.

Sedikitnya terdapat 4 jenis kemiskinan yang menimpa negeri kita, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural, demikian telaah para ahli.

Disebut kemiskinan absolut, jika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar ( makan).

Kemiskinan relatif terjadi sebagai akibat kebijakan pemerintah yang belum menjangkau seluruh wilayah dan lapisan masyarakat.

Kemiskinan struktural terjadi karena ketidakmampuan sistem atau struktur sosial menghubungkan seseorang dengan sumber daya yang ada.

Kemiskinan kultural tercipta sebagai akibat pengaruh budaya, tradisi dan adat istiadat setempat membuat masyarakat kurang atau tidak dapat merespons kemajuan.

Padahal kita tahu apa pun bentuk kebijakan ditujukan untuk semua, manfaat yang didapat juga untuk semua, bukan sebagian atau sekelompok orang sebagai penikmatnya.

Begitu pun kebijakan – kebijakan terkait pemulihan ekonomi terdampak pandemi, termasuk ketika hendak mengatasi kemiskinan.

Lonjakan angka kemiskinan sangat terasa sejak pandemi menerpa hampir semua negara di dunia.

Baca Juga:

Bank Dunia memprediksi angka kemiskinan ekstrem tahun 2021 ini bisa mencapai 150 juta orang. Setidaknya 47 negara terancam kemiskinan ekstrem akibat pandemi.

Di negeri kita sendiri, seperti dirilis Badan Pusat Statistik Nasional (BPS), angka kemiskinan bertambah 2,76 juta jiwa, total menjadi 27,55 juta jiwa (10,19 persen dari total penduduk).

Itu data hingga September 2020. Bagaimana dengan tahun 2021 ini? Jawabnya akan tergantung kepada sejauh mana penanganan pandemi dan upaya pemulihan ekonomi nasional dapat dijalankan.

Tak kalah pentingnya kebijakan ekonomi yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan akibat terdampak pandemi.

Dalam situasi seperti sekarang ini, kebijakan berkelanjutan harus dipaksakan secara terpusat.

Bahwa pelaksanaannya disesuaikan dengan kearifan lokal, karakteristik daerahnya memang harusnya demikian. Tetapi semuanya harus selaras mulai dari pusat hingga daerah.

Itulah pentingnya sinkronisasi dan kolaborasi kebijakan.Tak elok, yang satu “ngalor”, lainnya “ngidul” karena ego sektoral, lebih – lebih bernuansa pencitraan.  

Kemiskinan tak ubahnya penyakit yang harus segera diobati, jika negara ingin  kuat dan hebat, maju dan sejahtera. Ibarat penyakit kronis karena emergency pandemi, stimulus berupa bantuan sosial harus dilanjutkan hingga pasien sembuh.

Yang patut dicatat, stimulus harus tepat sasaran. Diagnosa yang tidak tepat menjadikan pemberian obat jalan terus, tetapi penyakit tak kunjung sirna.

Tahap selanjutnya stimulus ratusan triliun rupiah dialihkan kepada kegiatan yang lebih produktif untuk mendorong kemandirian. Kepala daerah hendaknya dapat memanfaatkan stimulus sebagai upaya memberdayakan potensi daerahnya.

Tentu dengan meningkatkan partisipasi masyarakat mewujudkan kemandirian dalam segala sektor kehidupan.

Ingat! Mengentaskan kemiskinan tak sebatas kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, tetapi menyangkut bidang pendidikan dan kesehatan sebagaimana diamanatkan undang – undang. (*).

Tags:
Kopi PagiharmokoKebijakan Berkelanjutan

Administrator

Reporter

Guruh Nara Persada

Editor