Oleh : Azisoko
SERING disebut perbedaan itu sebuah berkah. Perbedaan juga keniscayaan. Memperdebatkan perbedaan tak ubahnya menyalahi kodrati kita sendiri yang dilahirkan ke dunia sudah penuh dengan perbedaan.Yang perlu diperdebatkan, jika terdapat perbedaan dalam perlakuan.
Pembedaan perlakuan bukan menyalahi kodrati, tetapi dapat dikatakan melanggar konstitusi jika negara membeda-bedakan perlakuan kepada setiap warganya.
Dalam konstitusi negara kita, UUD 1945 dijelaskan secara rinci bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama, seperti hak mendapatkan pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
Artinya memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses kebutuhannya untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, fasilitas kesehatan, dan memperoleh kesempatan yang sama untuk hidup layak.
Tiadanya kesetaraan kesempatan dalam mengakses kebutuhannya akan memicu disparitas pendapatan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya kian memperlebar kesenjangan sosial.
Sementara, disparitas dan kesenjangan sosial sebagai satu indikator keadilan sosial belum sepenuhnya tercipta sebagaimana cita-cita negeri ini sejak didirikan. Selama angka kemiskinan ekstrem masih meningkat, kian melebarnya jurang kesenjangan karena tiadanya kesetaraan sebagai pertanda bahwa keadilan sosial masih menjadi pekerjaan rumah.
Itulah sebabnya mewujudkan keadilan sosial perlu mengacu kepada dua prinsip dasar sebagaimana telaah para ahli, yakni equality dan equity. Prinsip dasarnya adalah tak ada pembedaan perlakuan yang berakibat kepada timbulnya kesenjangan, itulah esensi keadilan sosial.
Equality berarti mengedepankan prinsip kemanusiaan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Artinya manusia sebagai warga negara tidak boleh dibedakan menurut kelas sosialnya.
Sedangkan Equity merujuk kepada prinsip tiadanya kesenjangan apa pun di negeri ini. Apa pun bentuk kesenjangan hendaknya tidak terjadi.
Yang diperlukan untuk menuju ke sana adalah pemihakan yang kuat kepada yang lemah. Yang besar kepada yang kecil, yang memiliki kemampuan kepada yang tidak berkemampuan.
Yang memiliki kekuasaan menggunakan kewenangannya untuk memberdayakan masyarakat agar tidak semakin terpinggirkan oleh kekuatan yang tak bisa disentuhnya, apalagi dilawannya. Tidak kian tersingkirkan akibat ketidakberdayaannya. Inilah yang disebut kelompok elit “menyantuni” kaum alit.
Begitu pun seorang pemimpin wajib berupaya menciptakan kesetaraan kepada masyarakat dalam memperoleh kesempatan di semua sektor kehidupan.
Yang hendak disampaikan adalah seorang pemimpin hendaknya tidak hanya menyatukan beraneka ragam perbedaan. Bukan pula menyerasikan kemajemukan guna memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Tetapi dituntut pula mewujudkan kesetaraan kesempatan kepada masyarakat agar dapat mengakses semua yang dibutuhkan sebagaimana yang menjadi hak-haknya, baik di bidang sosial ekonomi, politik dan keamanan.
Lebih-lebih dalam mengakses hasil pembangunan sebagai wujud nyata adanya pemerataan.
Yah, pemerataan sebagai cermin keadilan sosial bukan hal yang sulit diraih, jika semua ikut berperan serta mewujudkannya. Paling sederhana, yang merasa kuat sedapat mungkin melindungi yang lemah, bukan malah makin memperlemah keadaan. Bukan pula menciptakan kekuatan tunggal tiada lawan tanding. (*)