Oleh Harmoko
SAAT sekarang ini dibutuhkan kekompakan, kebersamaan, dan kerja sama dari seluruh elemen bangsa, dengan, tentunya, tanpa melihat latar belakang status sosial ekonominya, lebih-lebih afiliasi politiknya. Kerja bareng semakin menjadi satu solusi agar negara kita segera keluar dari pandemi.
Kita tahu, lonjakan kasus Covid-19 masih terjadi yang berdampak kepada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Di tengah negara kita sedang berjuang keras menangani pandemi, tidak sepantasnya jika ada di antara kita masih mempersoalkan perbedaan bukan karena keberagaman, tetapi lebih kepada aspirasi kelompok, apalagi afiliasi politik tertentu.
Hendaknya soal beda aspirasi endapkan dulu. Lagi pula pilkada dan pilpres masih jauh, masih tiga tahun lagi.
Problema yang ada di depan mata adalah masalah Covid-19 berikut dampak yang menyertainya. Prioritas perhatian sudah semestinya diarahkan ke sana. Semua kekuatan sudah sewajarnya dikerahkan ke sana, mulai dari organisasi pemerintahan dari pusat hingga daerah, organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi politik yang melalui parpolnya.
Jika seluruh potensi ini disatu-padukan dalam langkah nyata, kita meyakini apapun masalah yang menimpa negara tercinta dapat segera diatasi, termasuk masalah pandemi.
Cukup beralasan jika beberapa kali pejabat pemerintahan, mulai dari kepala negara hingga kepala daerah senantiasa menekankan perlunya kerja bareng, kerja bersama.
Menjadi soal jika kerja bersama itu kurang dilandasi adanya kebersamaan dalam nuansa persatuan dan kesatuan, sehingga acap muncul tidak sejalan ketika mengambil kebijakan. Yang terjadi kemudian kesalahpahaman, saling menyalahkan, bahkan mencari-cari kesalahan dengan maksud dan tujuan tertentu, kalau tidak disebut pencitraan.
Di sisi lain, dalam kondisi sekarang mestinya harus dihindari pula keinginan untuk menang sendiri, dan merasa benar sendiri. Jika terdapat aspirasi hendaknya disikapi secara bijak, meski datang dari mereka yang selama ini dianggap berseberangan jalan. Sebab, boleh jadi yang disampaikan demi kebersamaan untuk mengatasi masalah yang krusial sekarang ini, tetapi karena tidak sealiran, dikhawatirkan akan menjerumuskan. Maka perlu endapkan ego kelompok dan ego sektoral.
Semakin menjadi rumit, jika menyelipkan kepentingan aspirasi dan afiliasi kelompoknya. Kemudian nimbrung mereka yang ingin mencari keuntungan di tengah persoalan.
Jika kebersamaan yang dibangun masih melihat latar belakang kepentingan, niscaya kebersamaan yang tercipta hanya di tataran kebijakan. Bisa dikatakan terdapat kerja bersama, tetapi tanpa kebersamaan. Ini terjadi karena di dalamnya masih ada rasa “saling curiga”.
Perbedaan dalam mengambil kebijakan adalah hal yang lumrah. Beda persepsi juga manusiawi, tetapi tidak lantas saling membenci karena beda aspirasi.
Bukankah sejak mula negeri ini dibangun dengan perbedaan. Tokoh-tokoh pendiri bangsa tersebar dari Aceh hingga Papua. Dan, kita berkomitmen untuk menjaga kebersamaan, dengan panji Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai penaungnya.
Yah, berbeda tetapi tetap satu, itulah yang hendaknya menjadi komitmen kebangsaan kita. Dulu, beda afiliasi, sekarang tak perlu dipersoalkan lagi. Sekarang adalah satu, kita bangsa Indonesia bergerak maju bersama, kerja bersama untuk mengatasi masalah bangsa, demi kemajuan kita bersama.
Mari bersama tanpa prasangka, kerja bersama tanpa curiga dan bersatu tanpa mengungkit masa lalu.
Bukankah pepatah bijak mengatakan” Masa lalumu adalah milikmu, masa sekarang dan masa depan adalah milik kita bersama.” (*)