Karikatur Bung Harmoko. (kartunis: poskota/arif's)

Kopi Pagi

“Musuh yang Tersembunyi”

Senin 26 Apr 2021, 07:00 WIB

Oleh Harmoko

KEMENANGAN terhebat, paling bermartabat, bukan karena kemampuannya menaklukkan ribuan musuh, bukan pula memenangi kejuaraan, tetapi mampu memenangkan musuh dalam diri sendiri untuk menjadi juara sejati.

Dalam filosofi Jawa disebutkan “Wong menang iku sing biso ngasorake priyanggane dewe” - artinya orang yang menang itu adalah orang yang bisa melawan nafsunya sendiri.

Tak berlebihan sekiranya founding fathers negeri kita, Bung Karno berpesan kepada generasi penerus bahwa menaklukkan ribuan manusia mungkin tidak disebut pemenang, tapi menaklukkan diri sendiri disebut penakluk yang brilian.

Baca Juga:

Makna yang dapat kita serap, menaklukkan atau mengendalikan diri sendiri tidak semudah seperti ketika kita mengucapkannya, tidak segampang seperti membalikkan telapak tangan.

Begitu sulitnya mengendalian diri sendiri sehingga agama pun menempatkan berjuang melawan diri sendiri dan hawa nafsunya sebagai jihad yang paling utama.

Tidak sedikit tokoh negeri kita tergelincir karena tak kuat melawan hawa nafsu. Cukup banyak pejabat publik negeri kita yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu semua karena berawal dari tiadanya kemampuan melawan hawa nafsu.

Baca Juga:

Sering dikatakan hawa nafsu itu musuh yang tersembunyi. Ada tapi tidak terlihat seperti dikatakan filsuf Persia, Abu Hamid Al  Ghazali.

Sedikitnya terdapat 12 musuh yang tidak terlihat, yakni egois, arogansi, kesombongan, keegoisan, keserakahan, nafsu, intoleransi, kemarahan, berbohong, menipu, bergosip, dan memfitnah.

Tentu masih banyak lagi musuh yang tak terlihat, kecuali dirasakan oleh diri sendiri. Begitu pun tak ada orang lain yang mampu melawan musuh yang tersembunyi, kecuali dirinya sendiri.

Mencegah musuh-musuh yang tersembunyi itu bergolak, bergerilya mencari mangsa, maka si pemilik nafsu (kita) perlu menata diri dengan tidak mengumbar kepuasan duniawi.

Disebut nafsu karena di dalamnya terdapat keinginan hati yang kuat untuk meraih sebanyak-banyaknya kepuasan duniawi. Saking tingginya dorongan memenuhi hawa nafsu, kadang untuk mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara. Meski jauh dari etika dan norma, jauh pula dari nilai-nilai luhur bangsa kita, Pancasila, tetap saja diterabasnya.

Di sinilah perlunya alat pengendali. Sikap “sumeleh” menjadi satu upaya mengekang hawa nafsu. Sumeleh berasal dari kata “seleh” meletakkan atau melepaskan kehendak diri tanpa beban dan paksaan. Sering disebut juga “nrimo ing pandum” - menerima apa adanya, mensyukuri apa yang didapatkan dengan penuh keikhlasan.

Memang tidak mudah untuk bersikap sumeleh karena terlebih dahulu harus melepaskan  “keakuan” diri, membuang jauh sikap memaksakan kehendak pribadi. Harus berani mengatakan “tidak” kepada diri sendiri. Berani pula mengatakan “tidak” untuk hal-hal yang kita sukai.

Ini memang perlu proses. Itulah sebabnya untuk menjadi sumeleh dibutuhkan sikap “sareh” - kesabaran dan ketenangan batin menyikapi keadaan.

Dengan bersikap sumeleh dan sareh membuat hidup lebih tenang karena dengan penuh kesadaran telah melepaskan diri dari gejolak hawa nafsu. Tak ingin lagi jadi budaknya hawa nafsu. Setidaknya berusaha mengekang hawa nafsu.

Ingat! Kata filsuf: “Hawa nafsu bisa membuat seorang raja menjadi budak, sementara kesabaran bisa membuat seorang budak menjadi raja.”

Wallahu a’lam. (*)

Tags:
Kopi PagimusuhTersembunyiposkota.co.id

Administrator

Reporter

Administrator

Editor