Oleh: Harmoko
SUDAH sering dikatakan, keberagaman atau kemajemukan selain telah menjadi karakteristik masyarakat kita, juga sebagai penguat persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai aset bangsa dan negara, kemajemukan hendaknya tetap terpelihara, jangan sampai terkoyak karena kepentingan seseorang atau sekelompok orang.
Sejarah membuktikan bahwa negeri ini merdeka, terbentuk karena bersatunya seluruh komponen bangsa tanpa mempersoalkan latar belakang agama, suku, daerah, golongan, adat dan budaya serta status sosial ekonominya.
Wujud mengkristalnya beraneka ragam corak adat dan budaya bangsa menjadi kesatuan yang utuh dan serasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ini hendaknya makin meningkatkan pemahaman bahwa keberagaman bangsa kita sebuah keniscayaan yang tak perlu lagi diperdebatkan, apalagi dipertentangkan.
Keberagamaan hendaknya kita maknai sebagai berkah, bukan dijadikan pemicu masalah. Keberagamaan ini sebuah kekayaan tak ternilai harganya, di mana dunia telah mengakuinya.
Negeri kita memiliki keunikan karena terdapat lebih dari 1.300 suku dan etnik serta lebih dari 700 bahasa daerah yang tersebar di 17.500 kepulauan dari Sabang hingga Merauke. Itulah kekayaan akan keberagaman adat dan budaya yang tak hanya mampu menyatukan bangsa, tetapi kian memperkokoh identitas nasionalnya sebagai negara kesatuan.
Kita sebagai bagian dari anak bangsa, sudah sepantasnya tidak silau, tidak tergoda dengan kian merebaknya asupan budaya asing serba instan. Ini bukan lantas menistakan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Era digital harus kita hadapi dan manfaatkan untuk memperkuat jati diri bangsa, bukan untuk melemahkan, apalagi meminggirkan.
Itulah sebabnya mengedukasi kepada generasi digital menjadi sangat penting, mengingat ancaman persatuan dan kesatuan saat ini bukan lagi bersifat fisik, tetapi lebih kepada ideologis seperti intoleransi, radikalisme dan terorisme dalam arti luas.
Tantangan nyata di depan mata adalah merebaknya narasi yang mempertontonkan eksistensi, tetapi kadang jauh dari jati diri sehingga menyimpan embrio intolerasi.
Edukasi yang dibangun hendaknya memotivasi generasi digital berkreasi mengemas kontranarasi terhadap konten hoaks, konten – konten negatif di dunia maya. Dipacu lebih berkreasi mengemas konten positif, konten yang dapat memantapkan jati diri bangsa akan keberagaman.
Menghargai adanya perbedaan, bukan memperdebatkan perbedaan, lebih – lebih mempertentangkannya satu sama lain yang dapat memicu perselisihan dan melahirkan perpecahan.
Perbedaan pendapat karena berbeda suku, agama, ras, antargolongan, budaya dan aspirasi politik, sudah tidak pantas lagi diributkan.
Negara kita saat ini sedang menghadapi beragam problema seperti pemulihan ekonomi akibat pandemi. Janganlah menambah beban dengan terus menerus mengangkat perbedaan, sentimen kelompok sebagai embrio intoleransi.
Ucapan, sikap dan perilaku perbuatan yang kian menambah ancaman harus dilawan. Menjadi tugas pejabat negeri memberi keteladanan dengan senantiasa mengeluarkan pernyataan yang menyejukkan, bukan memperuncing perbedaan.
Bersama DPR mengeluarkan kebijakan yang aspiratif, bukan kontradiktif. Dengan MPR melakukan edukasi kepada generasi era kini sehingga tidak terbawa pusaran arus intoleransi, tidak juga saling menyalahkan akibat perbedaan.
Mari kita pererat ikatan sosial, kekerabatan dan persatuan di tengah keberagaman. Kita ini bersaudara. (*)