CITRA adalah gambaran diri, sesuatu yang ditampilkan dari diri seseorang, tapi juga bisa ditampilkan oleh satu golongan, suatu organisasi, suatu lembaga dan suatu partai politik.
Karena itu jika kita mendengar seseorang berkata: “si A itu orang baik/buruk”. Maka itulah contoh suatu citra. Demikian pula, “lembaga itu bagus, anggotanya selalu siap membantu orang yang kesusahan”, itupun citra. Ada yang mengatakan: “institusi itu korup dan kejam”, atau “partai itu tidak membela rakyat” dsb. Itu juga citra.
Semua orang seyogyanya mesti berupaya untuk membuat citra diri yang baik. Tentu menjadi aneh sekali jika ada orang yang memiliki keinginan untuk membuat citranya buruk.
Baca juga: Obrolan Minggu Profesor Amir Santoso: Konstitusional
Tapi membuat citra diri sebagai pribadi yang baik tidak bisa dan tidak boleh dilakukan melalui kamuflase. Tidak boleh seseorang menampilkan diri sebagai orang baik, orang ramah, murah hati, jujur dsb hanya melalui sikap berpura-pura, apalagi jika hanya melalui foto, pidato dan wawancara.
Citra diri itu harus tampil secara alami, tidak dibuat-buat dan bukan pura-pura. Sebab semua orang memiliki insting untuk mampu mengetahui mana sikap dan prilaku yang tulus dan benar-benar alami, atau sebaliknya.
Karena itu seorang pembohong misalnya tidak akan bisa mencitrakan diri sebagai seorang tidak suka bohong. Seorang tukang tipu tidak mungkin bisa secara alamiah tampil sebagai orang jujur. Orang yang sering berjanji tapi tidak pernah menepatinya akan dicitrakan sebagai pembohong juga.
Baca juga: Obrolan Minggu Prof DR Amir Santoso: Pilkada
Apakah tidak mungkin seseorang yang terlanjur memiliki citra jelek, lalu mengubahnya menjadi baik? Pasti bisa asalkan ada kemauan dan upaya.
Kalau dia orang biasa maka dia harus memperbaiki kelakuannya. Misalnya lalu sering bersedekah, ringan membantu orang kesusahan, selalu berbuat kebajikan dan kebaikan dll.
Kalau dia seorang pemimpin maka yang harus dilakukan, antara lain adalah pertama, berupaya mengikuti kehendak mayoritas rakyatnya. Tapi jangan terpaku kepada mayoritas di parlemen. Sebab di banyak negara, anggota parlemen makin kehilangan simpati rakyat karena sering lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka. Jadi pendapat anggota parlemen belum tentu mewakili kepentingan rakyat banyak.
Baca juga: Obrolan Minggu Prof DR Amir Santoso: Mendadak Islami
Kedua, agar mengetahui kehendak mayoritas rakyatnya, maka pemimpin itu harus sering melakukan blusukan untuk mengetahui kondisi dan situasi sebenarnya dari rakyatnya. Tapi blusukan itu jangan dipublikasikan agar tidak dianggap hanya pura-pura atau pencitraan belaka.
Diskusi dengan rakyat bisa juga dilakukan dengan sering mengundang tokoh yang mewakili kelompok atau organisasi sosial seperti buruh, tani, nelayan, dosen, dokter, guru dll. Undanglah mereka makan pagi atau makan siang sambil ngopi agar pembicaraan mengalir lancar. Jika pertemuan dan diskusi seperti itu sering dilakukan pasti akan muncul kedekatan hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya.
Namun adakalanya rakyat melakukan demo karena sebanyak apapun pertemuan informal dengan tokoh masyarakat pasti ada sebagian rakyat yang merasa perlu melakukan demo dengan tujuan agar kepentingan mereka bisa cepat ditanggapi dan diwujudkan.
Baca juga: Wapres Menegaskan Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya
Hadapilah pendemo itu secara langsung dan dengarkan tuntutan mereka. Dengan cara ini biasanya pendemo akan melunak dan membubarkan diri. Atau jika situasi membahayakan, undanglah pemimpin demo untuk berdialog. Sebab jika pendemo itu tidak ditemui, seringkali mereka bisa melalukan huru-hara.
Ketiga, jangan terlalu banyak obral janji apabila tidak yakin bahwa janji tersebut akan ditepati. Rakyat sering mengingat janji dari pemimpinnya apalagi jika janji itu sesuai atau pas dengan yang mereka butuhkan dan inginkan.
Keempat, tampillah percaya diri di depan umum termasuk di arena internasional. Ini penting karena wibawa bangsa dan negara diwakili oleh sosok pemimpin negara. Tidak perlu malu jika tidak lancar berbahasa Inggris. Sebab di arena internasional dan dalam pidato-pidato resmi banyak pemimpin menggunakan bahasa kebangsaannya, bukan bahasa Inggeris. Dan dalam percakapan resmi dengan pemimpin negara lain, boleh menggunakan penerjemah.
Baca juga: Soal Vaksin Covid-19, Wapres Ma'ruf Amin: Kalau Tidak Halal Tidak Apa
Hormat tidaknya bangsa lain kepada suatu negara sangat tergantung pada wibawa pemimpinnya. Jika pemimpin negara itu tampil percaya diri dan berani (tidak takut digertak negara lain) serta bijak dan tidak menjadi budak negara lain, pasti negara dan bangsanya akan dihormati oleh negara dan bangsa lain.
Kelima, segera perbaiki kesejahteraan rakyat dan pelihara keadilan dalam hukum. Banyak pemimpin menjadi rusak citranya ketika kesejahteraan rakyatnya menurun dan penerapan hukum dirasakan tidak adil.
Tentu masih ada lagi yang lain tapi mungkin jika hal-hal di atas diperhatikan dan dilaksanakan akan banyak masalah bisa diselesaikan dan citra diri akan kembali bagus.
Baca juga: MUI Minta Polri dan TNI Jangan Sampai Disusupi Kelompok LGBT
Pemimpin itu adalah ayah sekaligus teman bagi rakyatnya. Sikap pribadi pemimpin menjadi teladan bagi rakyatnya terutama bagi generasi muda. Karena itu memperbaiki citra diri menjadi penting agar muncul wibawa dan legitimasi sebagai pemimpin.
Tapi jangan lupa setiap pribadi adalah juga pemimpin minimal dalam keluarganya. Jadi, setiap orang harus selalu menjaga citra dirinya.
(Prof Dr Amir Santoso, guru besar FISIP Universitas Indonesia, Rektor Universitas Jayabaya).