“Negara wajib hadir melindungi para petani, buruh tani dan keluarganya dengan melakukan pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi. Dengan tegas melarang penggunaan pangan sebagai senjata.Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan..”
-Harmoko-
Bicara ketahanan pangan, tak lepas dari masalah kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan keamanan pangan. Keempat unsur tadi saling terkait satu sama lain.
Ketahanan pangan mudah tercapai, jika memiliki sepenuhnya kedaulatan pangan yang menjadi hak setiap negara dalam mengelola komoditas pangan, tanpa adanya campur tangan dan intervensi dunia.
Tanpa kedaulatan, sulit menembus status ketahanan pangan dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana disebutkan dalam UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yakni pangan tersedia secara cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata , mudah dijangkau serta tidak bertentangan dengan agama, kepercayaan dan budaya masyarakat.
Untuk menuju ke sana, tentu harus dimulai dari awal produksi hingga distribusi ke pasar- pasar. Sejak awal menentukan jenis komoditas mana yang menjadi prioritas untuk dikembangkan sesuai kebutuhan bangsa kita.
Sistem pertanian seperti yang hendak diterapkan dan masih banyak lagi. Intinya ada kedaulatan dalam bidang pangan di negeri sendiri.
Kita tahu, kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik, dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Artinya daulat pangan menjunjung tinggi diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangan yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga dengan prinsip solidaritas.
Yang perlu digaris bawahi daulat pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal, bukan impor, bukan pula bantuan dari negara lain.
Jika pemenuhan kebutuhan pangan, sebagian masih impor, kalau hak atas pangan dan pengelolaan pangan masih dikuasai korporasi, mencerminkan belum adanya kemandirian pangan. Artinya masih jauh dari kedaulatan.
Sebab, konsep dasar kedaulatan pangan adalah pemenuhan kebutuhan melalui produksi lokal. Sistem pertanian berbasis kearifan lokal, adanya demokratisasi petani dan pasar yang berkeadilan, tanpa campur tangan dan penguasaan korporasi.
Jika kita sepakati produk lokal sebagai primadona dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional, maka kebijakan di bidang pertanian harus tertuju kepada petani kecil, perlu adanya keberpihakan kepada petani sejati, bukan ‘petani berdasi” atau petani korporasi.
Negara wajib hadir melindungi para petani , buruh tani dan keluarganya dengan melakukan pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi.
Dengan tegas melarang penggunaan pangan sebagai senjata, pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan, seperti dikatakan pak Harmoko dalam kolom “KopiPagi” di media ini.
Membuka akses lebih luas kepada petani kecil ikut merumuskan kebijakan di sektor pertanian karena merekalah yang lebih tahu kondisinya, masalahnya, apa yang sedang dibutuhkan.
Jangan sampai lagi butuh benih untuk mulai tanam, yang dikasih pupuk. Giliran butuh pupuk,malah dikasih benih.
Mereka pula yang lebih mengetahui bagaimana mengelola sumber daya alam berkelanjutan, karena mereka berkepentingan untuk kelanjutan hidupnya, masa depannya, anak cucunya kelak.
Petani sangat berperan sebagai pilar penting produksi pangan lokal dan dunia, guna memenuhi kebutuhan dalam negeri dan peluang ekspor.
Tentu, petani dimaksudukan bukan hanya yang memegang cangkul, juga penyadap nira, penebar jala dan menernak hewan.
Selain perlindungan petani, kedaulatan pangan juga memerlukan dukungan semua pihak dalam mengembangkan diversifikasi komoditas pangan lokal.
Pengembangan ini hendaknya sejalan dengan program ketahanan pangan yang sekarang sedang digalakkan. Bukan hanya padi, juga ubi, uwi, jagung dan masih banyak lagi.
Jika produk lokal menjadi pijakan, maka perlu kebijakan yang lebih luas dalam melindungi produk lokal, tak hanya dalam proses produksi, juga meramaikan pasar lokal melalui aksi nyata cinta produk lokal guna mewujudkan kedaulatan pangan. (Azisoko).