GARUT, POSKOTA.CO.ID – Polisi menjerat E (22), tersangka pemutilasi ODGJ menjadi 12 bagian di Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dengan hukuman berat.
Warga Kecamatan Cisompet, Garut, ini dikenakan pasal berlapis, yaitu Pasal 338 dan 340 KUHP. Hukuman dari pasal tersebut terbilang “hebat” karena ancaman maksimalnya adalah pidana mati.
Kasat Reskrim Polres Garut AKP Ari Rinaldo mengatakan E telah ditetapkan sebagai tersangka setelah pihaknya melakukan olah TKP, gelar perkara, hingga sejumlah pemeriksaan dan alat bukti.
“Dalam gelar perkara, berdasarkan alat bukti yang kami dapatkan, E kami tetapkan sebagai tersangka," kata Ari, Selasa 2 Juni 2024.
Penerapan pasal berlapis kepada E dilakukan dari sejumlah fakta kasus pembunuhan yang terjadi, dari mulai pemeriksaan saksi-saksi hingga gelar perkara yang melibatkan tersangka.
"Terhadap tersangka E dalam perkara ini kami terapkan pasal 338 dan 340 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal mati," katanya.
Namun sebelum proses hukum terhadapnya dilakukan, tambah Ari, Polres Garut akan memastikan kondisi kejiwaan E terlebih dahulu.
Sebab gerak-gerik E dicurigai sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Untuk tes kejiwaan sendiri dilakukan di RS Sartika Asih Bandung.
Dipilihnya rumah sakit tersebut berdasarkan rujukan dari RSUD dr Slamet Garut.
“Sempat diperiksa di sana, tapi dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan di RS Sartika Asih,” katanya.
Adapun penerapan Pasal 338 dan 340 bisa dilakukan jika E benar-benar dalam kondisi sehat jasmani dan rohani termasuk mental dan psikisnya.
Akan tetapi jika pemeriksaan ahli membuktikan bahwa E merupakan ODGJ, maka penetapan pidana terhadapnya bisa dihapuskan.
Dinukil dari Hukum Online, terdapat beberapa aturan yang mengatur penghapusan pidana karena beberapa alasan. Salah satunya adalah alasan pemaaf.
“Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu,” tulis laman Hukum Online.
Contoh alasan pemaaf ini dapat dilihat dari Pasal 44 KUHP serta Pasal 38 dan Pasal 39 UU 1/2023.
Pada Pasal 44 ayat (1) KUHP, dijelaskan bahwa barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Pasal 44 ayat (2) KUHP, menguraikan jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Sementara di Pasal 38 UU 1/2023, berbunyi setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
Terakhir, Pasal 39 UU 1/2023, memaparkan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental, yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat, tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.