Hukum Hutang Puasa Ramadhan Belum Diqadha Hingga Waktu Ramadhan 2024 Tiba. (Pexels)

LIFESTYLE

Hukum Hutang Puasa Ramadhan Belum Diqadha Hingga Waktu Ramadhan 2024 Tiba

Rabu 06 Mar 2024, 12:20 WIB

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Bulan suci Ramadhan 2024 merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Pada bulan ini, umat Islam akan menunaikan ibadah puasa, tarawih, dan memperbanyak ibadah lainnya. 

Namun, Allah SWT memperbolehkan umat-Nya yang tidak mampu berpuasa, untuk tidak berpuasa, atau menunda puasa Ramadhan

Biasanya disebabkan karena sakit, safar, nifas, haid, dan sebab lainnya untuk tidak puasa. Namun, harus mengganti dengan puasa qadha di luar Ramadhan. 

Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 184 : 

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184)

Para ulama mewajibkan bagi umat Muslim yang memiliki hutang puasa Ramadhan, serta mampu menggantinya untuk segera melunasi hutang tersebut. 

Sebagaimana keterangan A'isyah radiyallahu 'anha, melunasi hutang puasa batas waktunya hingga sebelum datang Ramadhan berikutnya. 

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

Dulu saya pernah memiliki utang puasa ramadhan. Namun saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan sya’ban. (HR. Bukhari 1950 & Muslim 1146)

Namun, bagaimana jika hutang puasa Ramadhan 2023 belum diqadha hingga waktu Ramadhan 2024 tiba? 

Berikut penjelasannya yang dikutip Poskota.co.id dari berbagai sumber. 

Terdapat dua hukum mengqadha puasa Ramadhan tahun lalu yang belum lunas berdasarkan para ulama. Hukum tersebut berdasarkan alasan menunda puasa. Berikut penjelasannya. 

1. Menunda qadha karena sakit, lupa, hamil, atau udzur 

Menunda puasa qadha karena sakit, lupa, hamil, atau sudah uzur, berkewajiban untuk mengqagha tanpa harus membayar kaffarah. Hal tersebut dikarenakan menunda dalam kondisi diluar batas kemampuan. 

Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang sakit selama dua tahun, sehingga qadha Ramadhan sebelumnya belum lunas hingga masuk Ramadhan berikutnya. 

Imam Ibnu Baz rahimahullah lantas menyampaikan berikut : 

ليس عليها إطعام إذا كان تأخيرها للقضاء بسبب المرض حتى جاء رمضان آخر ، أما إن كانت أخرت ذلك عن تساهل ، فعليها مع القضاء إطعام مسكين عن كل يوم

Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnyam hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya.

2. Sengaja menunda qadha 

Orang yang sengaja menunda qadha hingga masuk Ramadhan berikutnya tanpa sakit atau udzur, terdapat 3 hukum. 

Hukum pertama, qadha tidak hilang, sehingga ia tetap wajib mengqadha hutang puasa Ramadhan tahun lalu. 

Sekalipun sudah melewati Ramadhan berikutnya, ia tetap wajib mengqadhanya. Hal tersebut telah disepakati oleh para ulama. 

Hukum kedua ia wajib bertaubat kepada Allah SWT karena secara sengaja menunda qadhanya tanpa sakit atau udzur. 

Hal tersebut merupakan bentuk menunda kewajiban, dan itu dilarang. Sehingga ia melakukan pelanggaran dan harus bertaubat. 

Hukum ketiga, orang yang sengaja menunda qadha, beberapa ulama ada yang mewajibkan membayar kaffarah, adapun tidak mewajibkannya. 

Pendapat pertama mayoritas ulama yang mewajibkan membayar kaffarah sebagaimana dijelaskan As-Syaukani : 

وقوله صلى الله عليه وسلم: “ويطعم كل يوم مسكينًا”: استدل به وبما ورد في معناه مَن قال: بأنها تلزم الفدية من لم يصم ما فات عليه في رمضان حتى حال عليه رمضان آخر، وهم الجمهور، ورُوي عن جماعة من الصحابة؛ منهم: ابن عمر، وابن عباس، وأبو هريرة. وقال الطحاوي عن يحيى بن أكثم قال: وجدته عن ستة من الصحابة، لا أعلم لهم مخالفًا

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin”, hadis ini dan hadis semisalnya, dijadikan dalil ulama yang berpendapat bahwa wajib membayar fidyah bagi orang yang belum mengqadha ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat yang diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah.

Pendapat kedua adapun para ulama yang tidak mewajibkan kaffarah bagi mereka yang sengaja menunda qadha puasa Ramadhan. Sehingga dalam hal ini, ia hanya wajib mengqadha saja. 

Hal tersebut merupakan pendapat an-Nakhai, Abu Hanifah, dan para ulama hanafiyah. Dalilnya adalah firman Allah,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-aqarah: 184)

Dalam ayat tersebut, Allah SWT tidak menyebutkan fidya dan hanya menyebutkan qadha. 

Adapun Imam al-Albani pernah ditanya tentang kewajiban Kaffarah bagi orang yang menunda qadha hingga datang Ramadhan berikutnya. 

Sehingga jawaban beliau sebagai berikut : 

هناك قول، ولكن ليس هناك حديث مرفوع

Ada yang berpendapat demikian, namun tidak ada hadis marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) di sana. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 3/327).

Qadha Ramadhan sebaiknya dilakukan segera tanpa ditunda-tunda sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan untuk segera dalam melakukan kebaikan. 

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)

Tidak Wajib Mengqadha Puasa Secara Berurutan 

Apabila memiliki kewajiban qadha puasa Ramadhan beberapa hari, maka untuk membayar qadha tersebut tidak wajib berturut-turut. 

Misalnya ketika mempunyai qadha puasa selama 5 hari karena sakit udzur dan sebagainya, makan boleh mengqadha dengan cara menyicil. 

Seperti dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan Dzulhijah, dan sehari pada bulan Muharram. 

Hal tersebut sebagaimana firman Allah AWT dalam surat Al-Baqarah ayat 185 : 

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). 

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan”. 

Allahu a'lam.

Tags:
Ramadhan 2024Ramadhanpuasaqadha

Resi Siti Jubaedah

Reporter

Resi Siti Jubaedah

Editor