Kopi Pagi Harmoko: Impor Pangan Bukanlah Solusi

Senin 18 Sep 2023, 05:30 WIB

“Manakala pemenuhan kebutuhan pangan, sebagian masih impor, kalau hak atas pangan dan pengelolaan pangan masih dikuasai korporasi, mencerminkan belum adanya kemandirian pangan,” -Harmoko-
 
IMPOR pangan bukan solusi strategis untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bukan pula ide brilian untuk mengatasi kelangkaan pangan dalam jangka panjang. Bukan juga jurus jitu mengatasi kenaikan harga.

Impor pangan hendaknya disikapi sebagai kebijakan sementara waktu, jika kondisi darurat seperti paceklik akibat bencana alam yang menyebabkan gagal panen nasional.

Jika impor komoditas pangan dilakukan rutin setiap tahun, kurang pantas disebut sebagai kebijakan pro- rakyat, pro – petani, apalagi langkah strategis dalam menyelesaikan masalah pangan di dalam negeri.

Impor pangan adalah kebijakan gampangan yang tidak mau repot, solusi instan mengatasi masalah ketersedian pangan.

Dalam era digital, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memang menuntut penyesuaian kehidupan yang serba instan. Mau makan tinggal pilih dan pesan, makanan segera datang, tak perlu repot memasak.

Mau belanja kebutuhan rumah tangga tinggal buka aplikasi, pilih, bayar, pesanan diantar ke rumah.

Yang paling sederhana, di era sekarang ibu rumah tangga cukup buka aplikasi WhatsApp, tinggal ketik pesan ke warung penyedia sembako: beli beras, gula, garam, susu, dan telur langsung diantar ke rumah.

Menjadi renungan, apakah dalam membangun bangsa dan negara, utamanya menyediakan pangan bagi kebutuhan rakyatnya, layaknya ibu rumah tangga yang beli ke warung sembako.

Kurang beras, beli. Stok gula menipis, beli. Kurang kedelai, buah, sayur hingga garam, juga beli ke negara lain (impor).
Jika demikian, buat apa kekayaan alam kita yang begitu melimpah, sumber daya alam kita yang sangat berharga, lahan pertanian yang luas dan subur.

Bukankah sumber daya alam, dan kekayaan alam di dalamnya hendaknya dikelola dan dimanfaatkan sebaik – baiknya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana perintah Undang – Undang Dasar 1945.

Pada pasal 33 ayat 3 dijelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Yang kita maknai bukan sebatas penguasaan, tetapi bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin kekayaan alam untuk kesejahteraan. Ini sejalan dengan tujuan negeri kita didirikan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, bukan segelintir atau sekelompok orang.

Sering kita dengar pejabat memotivasi masyarakat untuk memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam sayuran, buah – buahan dan tanaman berkhasiat dalam rangka memperkuat ketahanan pangan.

Motivasi semacam ini positif, karena dapat kita maknai sebagai upaya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) untuk kemakmuran bersama.

Menjadi tidak sinkron, jika masyarakatnya saja diminta mengelola kekayaan alam untuk memperkuat ketahanan pangan, tetapi kebijakan pangan yang paling mendasar, pemenuhan kebutuhan pokok, seperti beras, rutin dilakukan secara instan, melalui impor.

Pada akhir tahun 2022, pemerintah mengimpor 500 ribu ton beras, berlanjut impor 2 juta ton lagi beras dari dari Thailand, Vietnam, India dan Pakistan, hingga akhir tahun 2023.

Sejalan dengan itu, selain menebar operasi pasar, pemerintah juga menggelontorkan ratusan ribu ton beras bantuan pangan kepada 21,353 juta keluarga untuk tiga bulan ke depan, menyusul melonjaknya harga beras sebulan terakhir yang berdampak kepada melajunya inflasi dan melemahnya daya beli masyarakat.

Impor beras bukan kali ini saja, tetapi dari tahun ke tahun. Ada yang mengistilahkan Indonesia merupakan negara “net importer” atau pengimpor beras bersih, dapat dimaknai negara yang membeli lebih banyak barang dari negara lain dalam perdagangan global, dibandingkan menjualnya ke negara
tersebut dalam periode tertentu.

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ketergantungan akan beras impor berpotensi kian meningkat.
Prediksi ini tidak akan menjadi kenyataan, jika ada upaya sungguh – sungguh, dengan beragam cara dan pola, mengerahkan segala daya yang ada, guna
mewujudkan kemandirian pangan.

Manakala pemenuhan kebutuhan pangan, sebagian masih impor, kalau hak atas pangan dan pengelolaan pangan masih dikuasai korporasi, mencerminkan belum adanya kemandirian pangan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam
kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Artinya masih jauh dari ketahanan, lebih – lebih kedaulatan. Sebab, konsep dasar kedaulatan pangan adalah pemenuhan kebutuhan melalui produksi lokal.

Sistem pertanian berbasis kearifan lokal, adanya demokratisasi petani dan pasar yang berkeadilan, tanpa campur tangan dan penguasaan korporasi. (Azisoko).

Berita Terkait

Politik rakyat, kembali ke desa

Kamis 12 Okt 2023, 07:34 WIB
undefined

News Update