“Siapa pun hendaknya memiliki kesadaran diri bahwa tidak memenuhi janji adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri. Karena yang tahu persis mengapa seseorang tidak bisa menepati janji adalah diri sendiri, bukan orang lain..”
-Harmoko-
Sering dikatakan, janji adalah utang, tetapi bagaimana dengan janji politik yang hingga kini belum ditepati, apakah bisa disebut sebagai utang politik? Jawabnya bisa karena janji tidak akan terhapuskan sebelum dipenuhi.
Tetapi apakah utang itu akan dilunasi, terlewati atau semakin menggunung, itu kembali kepada politisi dalam menyikapi.
Melalui kolom ini, saya hanya ingin berbagi pesan bahwa janji apa pun bentuknya wajib ditepati.
Meski janji hanya diucapkan secara lisan, lebih-lebih melalui ikrar politik dan sumpah segala.
Agama apa pun mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak ingkar janji.
Para ulama mengatakan janji adalah utang yang wajib dibayar, harus dipenuhi-dilunasi.
Islam misalnya mengajarkan bahwa kepada siapa pun janji itu diberikan, selama bukan janji bermaksiat, maka harus ditepati.
Bahkan, siapa yang tidak menepati janji dikhawatirkan akan masuk golongan orang munafik.
Makna janji itu sendiri adalah perkataan atau ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu.
Sebuah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap ketentuan untuk berbuat sesuatu.
Karenanya berjanji kepada orang lain, sejatinya berjanji kepada diri sendiri. Tanpa menepati janji tak ubahnya pengingkaran diri.
Menyongsong pilpres dan pileg, tak sedikit politisi, kader parpol, kandidat yang sudah menebar baliho di ruang publik guna meraih simpati.
Tak hanya terpasang foto gagah atau cantik, juga ditambah tagline dengan kata-kata manis akan memajukan bangsa atau memperjuangkan rakyat menuju sejahtera.
Itu sudah tergolong janji tertulis kepada rakyat.
Lebih-lebih jika janji terucap di hadapan rakyat dalam sebuah forum tertentu yang dikemas sebagai bagian dari tahapan kampanye.
Memang ada embel-embel, jika terpilih, jika diberi amanah oleh rakyat, namun tak jarang setelah terpilih lalai dengan apa yang telah diucapkannya.
Sebelum terpilih sering ngopi bareng warga, setelah mendapat mandat, malah jauh dengan rakyat.
Memang janji hanya memiliki kekuatan moral, tetapi buka lantas boleh dianggap enteng, senteng ketika mengucapkannya, namun berat ketika harus memenuhinya.
Justru sebagai politisi-calon pemimpin negeri, kandidat calon pejabat dan wakil rakyat hendaknya menjunjung tinggi nilai-nilai moral, bukan malah meremehkannya.
Bagaimana bangsa kita akan hebat dan bermartabat, jika pemimpinnya mengabaikan moralitas, nilai-nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila.
Patut diingat bahwa mereka menjadi pejabat, wakil rakyat karena dipilih rakyat.
Sementara kita tahu, rakyat memilih karena janji-janji manis selama kandidat menggelar silaturahmi dan sosialisasi.
Maknanya mereka terpilih menjadi pejabat karena dipercaya rakyat.
Karena itu menjadi ironis, setelah terpilih lantas melupakan kepentingan rakyat.
Lebih mengedepankan kepentingan kerabat, tak sesuai janjinya yang akan mengutamakan kepentingan rakyat.
Jika itu terjadi, maka menjadi realitas yang tak dapat dipungkiri bahwa janji politik sebatas meraih simpati, hanya pemanis bibir belaka.
Bagaikan umpan di kail, setelah dapat ikan, dilempar begitu saja.
Padahal menepati janji tidak hanya akan meningkatkan kadar kepercayaan, tapi juga dapat melanggengkan kekuasaan.
Politisi yang tidak menepati janji jangan harap dapat terpilih lagi pada periode mendatang.
Siapa pun hendaknya memiliki kesadaran diri bahwa tidak memenuhi janji adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri.
Karena yang tahu persis mengapa seseorang tidak bisa menepati janji adalah diri sendiri, bukan orang lain, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Kini, rakyat semakin cerdas menelaah mana janji yang masuk akal dan abal-abal.
Misalnya berjanji akan menggratiskan listrik, PBB dan seluruh biaya perawatan di rumah sakit bagi setiap warga, mungkinkah itu dapat terealisasi.
Menjadi renungan bagi kita, haruskah menebar janji untuk meraih simpati.
Bukankah dengan banyaknya janji yang ditebar, tetapi tak satupun ditepati akan menjadikan perih di hati yang sulit terobati.
Ingkar janji, dalam bahasa gaul generasi era kini menyebut PHP-Pemberian Harapan Palsu, bukannya meraih simpati, melainkan antipati. Meruntuhkan kepercayaan.
Ada pesan moral, "Jauh lebih baik tidak menjanjikan apapun, tapi mencoba sekuat daya untuk memberikan segalanya yang terbaik." (Azisoko)