POLITIK uang banyak macam cara dan polanya, di antaranya melalui “serangan fajar” pada hari pencoblosan.
Soal serangan fajar ini juga diiingatkan Ketua KPK, Firli Bahuri pada acara Roadshow Bus KPK Jelajah Negeri Bangun Budaya Antikorupsi, di arena Car Free Day Kota Bekasi, Minggu (18/6/2023) lalu.
Firli mengingatkan masyarakat untuk tidak menjual suara pada pemilu mendatang.
Menjual suara berarti menggadaikan nasib bangsa lima tahun ke depan.
Karena itu kita hajar serangan fajar sebagai jargon menolak politik uang pada Pemilu 2024 seperti diserukan Firli.
“Serangan fajar memang tidak asing lagi sebagai pola politik uang setiap menjelang pemilu,” kata Heri mengawali obrolan warteg di sela maksi bersama sohibnya mas Bro dan Yudi.
“Politik uang ada yang hanya menyelipkan amplop setelah berkunjung kepada warga sebagai bentuk pesan tersembunyi. Karena si pemberi uang tidak meminta caleg ini dipilih,” kata Yudi.
“Yang model begini, lebih aman terendus petugas Bawaslu,” ujar mas Bro.
“Ada juga yang terang-terangan. Nilai nominal ditentukan tak ubahnya tawar menawar antara penjual dan pembeli.Transaksi tidak tertulis, tetapi kepercayaan sehingga hasilnya kadang tak sesuai harapan,” kata Heri.
“Apalagi ada anekdot, terima amplopnya, ambil duitnya, tak harus coblos gambarnya. Coblosnya gambar sesuai pilihan hati, tak harus sesuai amplop. Ini bisa jadi jargon anti politik uang” tambah Yudi.
“Iya juga, jika semua calon pemilih bersikap demikian, berapa pun uang digelontorkan kandidat, tidak menjadi jaminan terpilih,” kata mas Bro.
“Tapi kita ini kadang suka nggak enak hati. Masak sudah dikunjungi, dibawakan bingkisan, ditinggali amplop, nggak juga nyoblos yang bersangkutan,” ujar Heri.
“Kalau kunjungan semacam itu dilakukan secara rutin, itu bentuk membangun silaturahmi, dan kepedulian. Tetapi kalau datangnya cuma lima tahun sekali, abaikan saja. Itulah politik rakyat,” saran mas Bro. (jokles)