JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Terdakwa kasus peredaran narkotika jenis sabu Irjen Teddy Minahasa Putra membeberkan sisi gelap anggota Polri saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat beberapa waktu lalu.
Jenderal bintang 2 itu menyebut, fakta di lapangan ditemukan masih banyak anggota yang menggunakan narkotika.
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan, secara umum, dalan organisasi kepolisian, ada subkultur berupa kode senyap (code of silence). Bentuknya adalah jiwa korsa yang menyimpang, berupa kecenderungan personel untuk saling menutupi.
"Karena sudah menjadi subkultur, maka bisa dikatakan sulit bagi seluruh anggota kepolisian untuk merobohkan subkultur kode senyap itu," ujarnya saat dikonfirmasi, Sabtu 6 Mei 2023.
Reza kemudian menyinggung kepada permasalahan yang dialami Irjen Teddy Minahasa Putra, Mantan Kapolda Sumatera Barat itu.
Ia menyebut perkataan Irjen Teddy soal masih banyak anggota Polri yang memakai narkoba merupakan pengetahuan umum, meski seharusnya seorang Jenderal bisa memberantasnya.
"Nah, dasar perkataan TM di persidangan boleh jadi merupakan pengetahuan umum. Artinya, dia tahu tentang permainan narkoba, tapi tak mengalami atau berhadapan langsung dengan situasi personel polisi main narkoba," katanya.
Sebelumnya diberitakan, terdakwa narkotika jenis sabu, Irjen Teddy Minahasa menyebut adanya nuansa perang bintang dalam kasus peredaran narkoba yang menjeratnya. Hal itu disampaikan Teddy dalam sidang duplik di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jumat (28/4/2023).
Awalnya, Teddy membeberkan pernyataan tentang perintah pimpinan oleh pejabat utama Polda Metro Jaya saat dirinya ditahan sekitar Oktober- November 2022.
Saat itu, pejabat di Polda Metro Jaya menghampiri kamar sel nya untuk menyampaikan permintaan maaf dan hanya menjalankan perintah pimpinan.
"Ini perlu saya utarakan kembali terkait dengan penyampaian Direktur Reserse Narkoba dan Wakil Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Bapak Mukti Jaya dan Bapak Doni Alexander kepada saya, mereka membisikkan di telinga saya dan mengatakan 'mohon maaf jenderal, mohon ampun Jenderal ini semua atas perintah pimpinan'," kata Teddy di PN Jakbar, Jumat.
"Mereka berdua menampakkan ekspresi wajah yang serba salah saat menyampaikan kalimat tersebut kepada saya pada tanggal 24 Oktober dan tanggal 4 November 2022. Situasi ini mengisyaratkan ada tekanan atau desakan dari pimpinan dalam tanda kutip 'agar saya tersesat dalam kasus ini',' tambahnya.
Sehingga, dari percakapan tersebut, Teddy menarik kesimpulan bahwa telah terjadi persaingan yang tidak sehat di internal Polri. Bahkan, Ia menilai seperti ada nuansa perang bintang.
"Karena itu patutlah saya menarik kesimpulan bahwa di internal Polri telah terjadi persaingan yang tidak sehat, atau ada ya nuansa perang bintang sebagaimana dilansir pada media massa arus utama pada beberapa waktu lalu," tuturnya.
Ditambah lagi, Teddy memerhatikan gelagat Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilainya sangat sejalan dengan penyidik.
"Di mana JPU telah beratraksi secara akrobatik di dalam konteks hukum ini untuk mengawal agar perintah pimpinan penyidik tadi berlangsung atau berproses tanpa hambatan, dan 'pesanan' dan industri hukum tadi sekarang sudah paripurna," lanjutnya.