Kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah untuk melihat kesiapan lahan lumbung pangan pada Oktober 2020 lalu.

Nasional

Proyek Lumbung Pangan Jauh Lebih Banyak Mendatangkan Kerugian

Sabtu 04 Mar 2023, 09:00 WIB

POSKOTA.CO.ID - Proyek lumbung pangan atau food estate terus menuai polemik setelah tiga tahun dicanangkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Klaim keberhasilan lumbung pangan dalam meningkatkan produktivitas pangan oleh Menteri Pertanian dan Gubernur Kalimantan Tengah berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.

Proyek ini justru menemui banyak permasalahan. Yakni banyak gagal panen, perambahan hutan, dan tanah masyarakat adat sehingga berdampak pada terjadinya bencana alam serta konflik sosial.

Kritik keras banyak disampaikan akademisi, organisasi masyarakat, hingga pakar politik.

Mereka berpandangan membangun kedaulatan pangan seharusnya berorientasi pada pemberdayaan pangan lokal dengan pelibatan masyarakat setempat dan mengindahkan aspek keseimbangan lingkungan, keberlanjutan, dan tradisi masyarakat lokal. Bukan dengan ekstensifikasi lahan yang mengabaikan faktor ekologi dan sosial.

“Data BKN 2021 tentang Indeks Ketahanan Pangan Indonesia menunjukkan bahwa ketersediaan komoditas beras, ikan, dan minyak goreng sudah jauh melebihi konsumsi nasional,” ungkap Dosen dan Peneliti Sosiologi Pertanian Pangan Institut Teknologi Bandung (ITB) Angga Dwiartama pada acara Diskusi Media “Food Estate: Untuk Membangun Kedaulatan Pangan?” secara daring pada Jumat (3/3/2023).

Dia melanjutkan,”Namun di daerah Papua terjadi kerentanan pangan yang sangat tinggi. Karena itu sebenarnya masalah utama pangan terletak pada sisi keadilan dan distribusi. Yakni dari harga harusnya terjangkau, ketersediaan akses, serta pemenuhan hak-hak para petani.”

Dia menyebutkan sistem kedaulatan pangan di Indonesia telah mengalami pergeseran dengan menjustifikasi tindakan pembukaan lahan untuk proyek lumbung pangan sehingga tujuan utama untuk pemenuhan pangan melalui sistem pangan dan sumber daya lokal, seperti diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, justru menjadi terlupakan.

Pertanian monokultur dan berskala besar akan membuat keanekaragaman hayati menjadi sangat rentan akan kerusakan ekologi.

Juru Kampanye Pantau Gambut Wahyu A. Perdana mengungkapkan data penggunaan alokasi anggaran yang cukup besar sebanyak Rp 1,5 triliun untuk proyek lumbung pangan pada 2021 - 2022 terbukti belum mampu mengakselerasi hasil panen. Hal ini terjadi akibat lahan yang ditanami sebagian besar merupakan lahan gambut yang selalu basah dan memiliki tingkat keasaman cukup tinggi sehingga tidak cocok dengan komoditas pertanian skala besar.

Empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terindikasi masuk ke dalam tingkat kerentanan tinggi karhutla berdasarkan riset yang dilakukan Pantau Gambut.

Di antaranya 190.395 hektare pada KHG Sungai Kahayan - Sungai Sebangau termasuk ke dalam wilayah lumbung pangan juga berada dalam kondisi yang sama rentannya.

“Perlu dicatat bahwa hutan gambut yang dibuka untuk lumbung pangan dapat melepaskan emisi sekitar 427 ton karbon ke udara. Terlebih lagi, ekosistem gambut yang rusak sangat sulit dan mahal untuk direstorasi. Butuh waktu 10.000 tahun untuk pembentukannya,” ucap Wahyu.

“Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali regulasi proyek lumbung pangan dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan menurunnya kesejahteraan petani lokal sebagai efeknya.”

Di sisi lain Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI Uli Arta Siagian berpendapat kebijakan negara terkait proyek lumbung pangan selain kurang berpihak kepada kesejahteraan rakyat juga membawa ancaman perubahan iklim yang lebih parah. Pengalaman selama puluhan tahun para petani tradisional dalam bercocok tanam dan menjaga alam telah dinegasikan dengan kebijakan lumbung pangan.

“Mengacu kepada temuan kami di lapangan, kedaulatan pangan lokal berisiko punah akibat ekspansi monokultur dan penyeragaman pangan yang dipaksakan untuk dikonsumsi dan menjadi komoditas bisnis. Produksi secara besar-besaran lebih diutamakan dibandingkan untuk pemenuhan pangan sendiri. Solusinya adalah sesuai kepada konsep WALHI yaitu kembali pada konsep tata kuasa petani dan masyarakat, tata kelola praktik lokal, tata produksi hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan tata konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan setempat,” ungkapnya.

Aktivis dan pengamat politik Ray Rangkuti menyesalkan proyek lumbung pangan yang selalu menjadi agenda pemerintah di setiap periode kepemimpinan presiden terpilih. Padahal proyek ini tidak pernah memecahkan masalah fundamental pangan di negeri ini karena lebih menitikberatkan pada bobot kepentingan sisi ekonomi dibandingkan dengan penyelesaian masalah pangan.

Pemerintah harus belajar dari kesalahan masa lalu dan membuat kebijakan yang lebih berhati-hati terkait proyek ini.

Menurutnya, berbagai narasi saat ini terus bergulir seperti Ibukota Negara, Omnibus Law, UU KPK, dan reformasi institusi kepolisian. Sementara masalah lumbung pangan bisa jadi menempati posisi paling akhir dari rangkaian isu tersebut.

“Para akademisi dan NGO harus terus menyuarakan betapa pentingnya hal ini untuk terus didorong pada publik dan politisi terutama sebagai agenda kampanye di tahun 2024. Dengan demikian masyarakat tidak selalu disajikan berita dari isu global tetapi mulai peduli pada isu-isu spesifik dan penting,” ungkap Ray Rangkuti.

“Karena hal ini terkait dengan ancaman kesejahteraan masyarakat dan kerusakan alam yang luar biasa. Kerugian yang ditimbulkan dari proyek lumbung pangan jauh lebih banyak daripada keuntungannya,” pungkasnya. ***

Tags:
lumbung panganFood Estatemasyarakat-adatproyek-strategis-nasionalPSNKalimantan Tengah

Reporter

Administrator

Editor