Kopi Pagi

Dinasti Politik Kian Menggelitik

Senin 30 Jan 2023, 12:59 WIB

"Fakta acap  mempertontonkan ikatan keluarga lebih kuat, ketimbang  untuk rakyat,  hingga melahirkan  penyimpangan dan penyelewengan dalam merumuskan kebijakan.."

Setiap menjelang pemilu, dinasti politik selalu ramai dibahas, tetapi tak pernah tuntas. Selesai pemilu, pilkada dan pileg, selesai pula dinasti politik dibahas, seolah menguap tak berbekas. 

Yang mencuat kemudian adalah sanjungan dan pujian atas kinerja pejabat publik yang baru terpilih, figur yang sebelumnya ramai dibahas karena dikait- kaitkan dengan politik dinasti.

Boleh jadi, karena ramai diperbincangkan dari berbagai kalangan, tokoh yang bersangkutan semakin populer dan menarik perhatian publik, sehingga banyak dipilih rakyat.

 Itu prasangka baik.Jika merujuk kepada sudut pandang demikian, mestinya politik dinasti tidak perlu dipersoalkan karena tokoh yang sebelumnya diributkan, 
ternyata dinilai sukses memimpin daerahnya.

Apa yang dikhawatirkan sebelumnya tidak menjadi kenyataan, setidaknya belum terbukti menjadi sebuah kenyataan.

Jika hendak berpikir kritis, apakah dinasti politik, yang didalamnya juga semakin meng u a t n y a k e k u a s a a n mampu menciptakan kondisi sebagaimana 
dikehendaki?

Jawabnya cukup terbuka peluang. Tidak menjadi soal, jika yang dikehendaki bertujuan memakmurkan rakyat, memajukan daerahnya. 

Malah dengan menguatnya kekuasaan (eksekutif dan legislatif), didukung kalangan pebisnis dapat diarahkan untuk memperlancar proses 
pencapaian tujuan. 

Akses yang begitu luas di semua sektor, tidaklah sulit untuk mewujudkannya.
Dengan begitu dapat dikatakan pejabat publik  hasil proses politik dinasti mampu menorehkan prestasi dengan segera memajukan kotanya dan menyejahterakan warganya.


Menjadi soal, jika terjadi “abuse of power”, penyalahgunaan kekuasaan mulai dari proses rekrutmen calon pejabat publik hingga setelah terpilih dan menjalankan fungsi dan tugasnya. 

Dimana, jejaring kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk memperkaya keluarganya, kerabatnya, dengan memudahkan dan meloloskan proyek yang dikehendaki.

Kesempatan menjadi tidak merata karena keuntungan akan didapat pihak yang memiliki hubungan dengan pemangku kekuasaan dan pengambil kebijakan.


Jika sudah demikian, dinasti politik berdampak kepada mundurnya 
pembangunan dan pelayanan publik. 

Mengapa?  Semua aktor (kelompok dinasti) baik dalam dan luar pemerintahan mendapat jatah dan akses ke kekuasaan. 

Kondisi seperti ini akan mengaburkan dan meniadakan fungsi checks and balances. 
Sementara lemahnya fungsi pengawasan dapat membuka peluang merebaknya KKN.

Dinasti politik bukan hanya di Indonesia, juga di belahan dunia lain. Di Amerika Serikat, ada Kennedy, Bush, Aquino. Gandhi dan Nehru di India.

Di negeri kita tradisi dinasti politik sebelum Indonesia merdeka, saat pemerintahan berbentuk kerajaan yang menganut patrimonialisme. 

Raja digantikan oleh putra mahkotanya secara turun temurun. Raja memiliki hak mutlak dalam mengendalikan pemerintahan, tanpa ada yang berani mengganggu gugat atas kebijakan yang digulirkan.

Tetapi fakta sejarah, tak sedikit raja yang bijaksana, mengabdi demi negara dan memakmurkan rakyatnya menjadi tujuan utama. 

Kebijakanyang diterapkan semata demi kepentingan negeri dan rakyatnya, bukan semata bagi kerabatnya.

Kalaupun melanggengkan kekuasaan, adalah kekuasaan untuk melindungi rakyatnya, bukan kelompok dinastinya. 

Sebut saja Raja Balaputradewa yang memimpin Kerajaan Sriwijaya, Sultan Agung (Kerajaan Mataram), Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) dan masih banyak lagi keturunannya yang sukses sebagai pemimpin yang patut diteladani oleh para pemimpin era kini.

Kita kenal istilah “Sabda pandhita ratu” – apa yang telah diajarkan oleh 
para pandito, diucapkan oleh raja tidak boleh di-ubah kembali. 

Ini memberi pencerahan bahwa seorang pemimpin harus teguh prinsip, taat asas, konsisten.Wajib mengimplementasikan apa yang telah diucapkan.

Mampu menyelaraskan antara ucapan den-gan perbuatan seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Di era sekarang, jika ada anggota keluarga penguasa terjun ke dunia politik dengan alasan ikut berkontribusi membangun daerahnya, hendaknya setelah menjadi pejabat publik (gubernur, bupati/walikota atau wakil rakyat), senantiasa membuat kebijakan yang prorakyat, bukan untuk kerabat dan teman sejawat.

Masih lemahnya sikap konsistensi inilah yang membuat dinasti politik ditolak.

Fakta acap mempertontonkan ikatan keluarga lebih kuat, ketimbang untuk rakyat, hingga melahirkan penyimpangan dan penyelewengan.

Hingga kini belum ada aturan yang melarang dinasti politik, mengingat setiap warga negara memiliki hak untuk dipilih dan memilih.

Dulu pernah ada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang melarang calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat den-gan petahana. Mereka adalah ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak dan menantu. 

Tetapi aturan tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena itu tadi, membatasi hak konstitusi. Ditolak, tetapi tidak bisa dilarang. Itulah dinasti politik yang kian menggelitik untuk ditelisik.

Yang paling memungkinkan adalah meminimalisir praktik dinasti politik melalui edukasi politik kepada masyarakat, jika dinasti politik dianggap lebih banyak mendatangkan mudarat, ketimbang kemaslahatan bagi umat.

Komitmen penyelenggara pemilu dan parpol 
untuk tidak meloloskan kadernya jika maju pemilukada menggunakan jalur dan fasilitas dinasti politik. Tetapi, mungkinkah itu? 

(Azisoko)

Tags:
PolitikDinastiKekuasaanpowerharmokoKopi Pagi

Administrator

Reporter

Administrator

Editor