Kisah Healing OYPMK, Proses Yang Tidak Mudah

Rabu 11 Jan 2023, 19:00 WIB
Ardiansyah

Ardiansyah

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Healing sering banget disebut saat ini.

Di Indonesia, healing menjadi kata yang sering dipakai guna mempromosikan pariwisata.

Tetapi arti sebenarnya healing itu penyembuhan. Terutama pada psikis dan emosi seseorang.

Disabilitas dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) juga membutuhkan healing.

Healing menurut saya sebenarnya bagi siapa saja. Teman-teman disabilitas dan OYPMK juga membutuhkan ini,” ucap Executive Director Institute of Women Empowerment (IWE) Donna Swita seperti dikutip dari Youtube KBR dalam program yang dipersembahkan NLR Indonesia yang konsern pada isu kusta dan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.

Healing bagi orang yang mengalami tekanan berkepanjangan membutuhkan waktu. Terutama bagi OYPMK. Karena stigma yang dialaminya. Hal ini dikisahkan Adriansyah, seorang OYPMK.

“Saya mengalami stigma akibat tekanan dari keluarga. Terutama orang tua,” kisahnya. “Kemudian saya mencari jalan bagaimana bisa bangkit.

Dia lalu menceritakan perjumpaannya dengan Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) dan bermitra dengan NLR.

“NLR banyak memberikan penguatan kapasitas kepada saya sehingga pada 2018 saya fokus di gerakan organisasi kusta dan disabilitas,” ujar Wakil Ketua Konsorsium Pelita Indonesia ini seperti dikutip dari Youtube KBR dalam program yang dipersembahkan NLR Indonesia yang konsern pada isu kusta dan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.

Healing yang dia lakukan yakni dengan selalu memfokuskan pada diri. “Jika bukan saya sendiri yang mengubah diri saya maka saya tidak bisa untuk bisa berubah.”

“Saya harus tetap melangkah ke depan. Di situlah kemudian saya mulai pelan-pelan keluar dari stigma diri saya. Ini karena dukungan dari teman-teman dan jaringan.”

Menurutnya, pengalaman tersebut sangat penting. Karena biasanya OYPMK sangat menutup diri sehingga susah bercerita.

“Ini sangat penting terutama untuk seorang OYPMK. Karena seorang OYPMK itu sangat menutup diri sehingga tidak punya teman untuk bercerita, tidak punya teman untuk berkeluh kesah.”

“Itulah yang membuat OYPMK semakin tertekan dan punya stigma diri. Takut menceritakan masalahnya, penyakitnya, dan sebagainya. Saya kira itulah terapi yang mungkin harus diberikan kepada seorang OYPMK,” terang Adriansyah.

Ketika OYPMK mempunyai teman berbagi cerita, mendengarkan, maka beban perasaannya menjadi ringan.

“Ternyata ada yang mau mendengarkan saya, ada yang mau menemani saya, atau ada yang ingin mendukung saya sehingga merasa tidak sendiri. Walaupun keluarga sendiri tidak mendukung tetapi di luar ada yang mendukung.”

Kebutuhan untuk healing mengacu pada lima dimensi. Yakni dimensi fisik, psikis, mental, relasi, dan spiritual. Demikian keterangan Executive Director Institute of Women Empowerment (IWE) Donna Swita.

Dia mencontohkan bagaimana orang yang memiliki stigma berdampak pada dimensi fisik.

“Orang yang punya stigma menjadi tidak bisa tidur dan sebagainya. Ini pasti akan berdampak pada dimensi fisik. Kemudian pada dimensi psikis mengalami stress. Terakhir dimensi spiritual. Dimensi spiritual tidak melulu soal agama sih.”

Di samping itu Donna menekan pentingnya pengetahuan atau informasi yang benar.

Dia mengungkapkan,”Kebanyakan orang tidak mendapatkan informasi yang benar. Sekarang banyak sekali informasi kalau mau dilihat di Google dan Youtube namun itu jarang digunakan. Biasanya orang menggunakan teknologi hanya di media sosial. Tetapi tidak mencari informasinya.”

“Kadang-kadang orang di sekitar kita tidak mendapatkan informasi itu dengan baik. Nah itu yang harus dilakukan oleh kita saat ini,” pungkasnya. ***

Berita Terkait
News Update