JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu, 1 Oktober 2022 merupakan titik kulminasi dari salah urus bidang olahraga di Tanah Air.
Jatuhnya korban 135 jiwa, termasuk puluhan anak-anak, serta ratusan korban luka lainnya, membuat ofisial dan penggemar dipaksa untuk melihat bagaimana kegagalan induk federasi sepak bola Indonesia (PSSI) dalam mengurus seluruh aspek olahraga rakyat tersebut.
Pengamat sepak bola nasional, Sigit Nugroho mengatakan, kejadian di Kanjuruhan membuka tabir kelam kondisi sepak bola Indonesia. Ia menyoroti banyaknya infrastruktur stadion yang sudah tak lagi kokoh dan tidak memiliki standar baku versi Asian Football Confederation (AFC).
Menurutnya, standardisasi stadion di sepak bola Indonesia sudah baku sebagaimana ditetapkan oleh AFC, yakni dari regulasi stadion, pencahayaan stadion hingga keamanan dan pengamanan dalam stadion.
“Standarisasi stadion di Indonesia sudah baku, jika mengacu pada versi AFC yang tertuang dalam 3 standar AFC. Yakni, regulasi stadion, pencahayaan dalam stadion (min 1200 lux), dan regulasi keamanan dan pengamanan,” ujar Sigit kepada wartawan, Rabu (14/12/2022).
Sigit melanjutkan, tiga standar itu harus memenuhi beberapa poin, mulai dari jarak stadion ke bandara, fasilitas lain seperti ruang ganti, toilet hingga media. Sayangnya, poin-poin ini tidak dipenuhi oleh pengelola stadion dan parahnya diabaikan oleh pihak federasi sepak bola Indonesia (PSSI) yang memiliki hak penuh dalam mengawasi hal tersebut.
“Di dalamnya menyangkut berbagai aspek seperti jarak stadion dari bandara (maks 200 km dan/atau 2,5 jam waktu tempuh dari bandara), fasilitas-fasilitas standar seperti ruang ganti, toilet, media, broadcast dll. Beberapa stadion di Indonesia sudah memiliki itu, tapi banyak yang belum,” ujarnya.
Yang membuat hal ini semakin parah, kata Sigit Nugroho, adalah keterlibatan kepentingan pribadi oknum pejabat PSSI dalam memutuskan kelayakan stadion tersebut. Hal itu tercermin dari keputusan memilih stadion Kanjuruhan sebagai tempat pertandingan Liga 1. Padahal, stadion Kanjuruhan belum memenuhi standar baku AFC.
“PSSI sudah menerapkan standarisasi stadion? tentu saja sudah, tetapi masih terlihat penilaian bersifat tebang pilih. Bagaimana bisa stadion Kanjuruhan lolos verifikasi, padahal bangunan maupun fasilitasnya bernuansa kuno untuk ukuran AFC. Sementara JIS dengan sedikit kekurangan, langsung dinilai tidak lolos verifikasi,” ucapnya.
Penilai seperti ini, kata Sigit Nugroho, memiliki muatan kepentingan pribadi orang-orang dalam PSSI. Bahkan, kepentingan pribadi dan kelompok orang-orang dalam PSSI ini tidak hanya pada penilaian standar stadion tetapi juga kepada hal lain.
“PSSI ini ahli dalam mencari celah apapun untuk menggugurkan sesuatu, dan mengkatrol sesuatu yang sesuai kepetingan oknum pengurus atau kelompok pengurus. Ini terjadi dalam banyak aspek. Tak cuma stadion,” tegasnya.
Untuk itu, mantan Ketua Umum Asosiasi Suporter Sepak Bola Indonesia (ASSI) ini menyarankan agar PSSI harus tegas dalam menilai standardisasi satu stadion berdasarkan aturan yang ada, tanpa menarik kepentingan pribadi atau kelompoknya ke dalam, demi perbaikan sepak bola dan keamanan bagi seluruh orang yang datang ke stadion.
“Tentu saja mutlak harus diperbaiki. Tinggal sesuaikan dengan item-item yang belum ada dalam check-list detail standar stadion versi AFC. Jika stadion ini milik pemerintah, perlu melibatkan Kementrian PUPR dan/atau pihak terkait. Karena ada timbal balik berupa uang sewa dan perawatan dari klub pengguna,” jelasnya.
“Jika stadion itu milik swasta, mereka sendiri yang harus memperbaiki. Bisa saja melibatkan pemerintah, tentu dengan klausul yang disepakati. Semua itu bisa dicarikan solusi asal dibuka ruang komunikasi,” imbuhnya menandaskan.(*)