ADVERTISEMENT

Mendesak, Sosok Pemersatu Bangsa

Senin, 12 Desember 2022 06:50 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

MAKIN diperlukan sosok pemersatu bangsa. Yang mampu melindungi dan mengayomi semua kepentingan. Mampu merangkul semua golongan, tanpa terkecuali,”  -Harmoko-
 
Ada anggapan, siapapun yang kelak menjadi presiden, hasil pilpres 2024, akan menyisakan polarisasi, adu kekuatan karena dukungan masih tetap menggelayuti, kubu – kubuan sebagai embrio keterpecahan dan pembelahan masih kerap mewarnai dalam kehidupan sehari- hari.

Kondisi akan semakin terpolarisasi, jika mengedepankan kebanggaan pengakuan (ego kelompok) bahwa presiden terpilih adalah presiden mereka, partai pendukungnya, bukan bagi lawan – lawan politiknya. Bukan presiden kita, bangsa Indonesia.

Sikap semacam itu akan melahirkan komitmen politik bahwa yang berseberangan dengan pemerintah, yang mengkritisi pemerintah, yang tidak pro dengan kebijakan pemerintah harus dilumpuhkan.

Perilaku politik semacam ini sejatinya mengingkari hakikat demokrasi itu sendiri, lebih-lebih Pancasila yang menghargai adanya perbedaan, di mana oposisi adalah keniscayaan sebagai kekuatan penyeimbang. Sebagai alat kontrol agar pemerintahan berjalan pada relnya, sesuai visi dan misi, program kerja yang telah dijanjikan kepada rakyat saat kampanye.

Kerisauan semacam ini, boleh jadi yang memunculkan wacana, perlunya penundaan pemilu, pilpres 2024. Wacana sah – sah saja, tetapi menunda pemilu atau apa namanya, bukan solusi jitu. Bahkan, akan menambah masalah baru, sementara masalah lama tetap mengiringi.

Dobel masalah, jika tidak disebut kompleks masalah, belum lagi di tengah beragam ancaman krisis energi pangan energi dan keuangan. Sementara kita tahu krisis pangan akan memicu berbagai masalah baru, tidak saja mengancam persatuan dan kesatuan, juga berdampak ke sosial politik, pertahanan dan keamanan. Negara menjadi lemah.

Sejenak ke belakang, Raja Mataram, Sultan Agung gagal menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628 karena “lumbung perbekalan pasukan” dibakar Belanda, hingga tentara dan rakyat tak berdaya. Berhasil menguasai Surabaya karena memblokade pasokan makanan.

Sultan Agung Hanyokrokusumo menguasai Tanah Jawa karena karakter kepemimpinannya yang tidak membuat jarak dengan rakyatnya. Bahkan, Sultan Agung yang bernama Raden Mas Jatmika sering turun langsung ke lapangan bukan untuk mencari simpati, tetapi mendengar keluhan rakyatnya kemudian dirumuskan dalam kebijakan. Memajukan peradaban dengan memadukan unsur – unsur budaya yang beragam.

Lewat Sastra Gendhing, diungkap falsafah kepemimpinan Sultan Agung yang memuat tujuh amanah. Yang ketujuh, smara bhumi adi manggala, pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda – beda dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian dunia.

Bahkan, menghargai adanya perbedaan sudah menjadi menjadi tuntunan  di masa keemasan Kerajaan Majapahit dengan duet kepemimpinan Hayam Wuruk – dan Gajah Mada (1350 – 1389 Masehi).

Halaman

ADVERTISEMENT

Berita Terkait

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT